Dalam kurun 6 bulan terakhir ini berita di media massa didominasi oleh eksodusnya Rohingya dari wilayah Myanmar ke wilayah Banglades. Dunia internasional mendekati kesepakatan untuk menyimpulkan bahwa kejadian tragis ini tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan termasuk sebagai tindakan pembersihan etnis.
Eksodus pengungsi Rohingya mulai terjadi ketika operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar dimulai pada tanggal 25 Agustus 2017 lalu sebagai pembalasan atas serangan militan Rohingya yang bernama ARSA terhadap 30 pos polisi.
Jumlah korban jiwa terkait kejadian yang luar biasa ini memang masih simpang siur. Secara resmi pemerintah Myanmar menyebut jumlah korban jiwa sebanyak 400 orang yang sebagian besar korban jiwanya disebut sebagai ekstrimis ARSA, namun dunia internasional menyangsikan jumlah ini mengingat besarnya jumlah pengungsi yang menyelamatkan diri ke Banglades yang mencapai jumalh 647.000 orang.
Kelompok donor yang membantu pengungsi menyatakan bahwa paling tidak ada sekitar 9000 korban jiwa ketika terjadi konflik antara tanggal 25 Agustus sampai tanggal 24 September 2017 lalu.
Berdasarkan penelitian melalui wawancara langsung terhadap korban yang masih hidup dan keluarga yang dilakukan oleh Medecins Sans Frontieres (MSF) korban jiwa pada kurun waktu pecahnya konflik pada bulan Agustus 2017 mencapai angka 6.700 jiwa termasuk di dalamnya 730 anak dibawah usia 5 tahun. Jumlah korban yang dikeluarkan oleh MSF ini dianggap sebagai angka korservatif dan lebih akurat.
Survey yang dilakukan oleh Medecins Sans Frontieres (MSF) menyebutkan jumlah korban jiwa yang tinggi ini mencerminkan betapa luasnya konflik yang terjadi mengingat jumlah pengungsi yang melakukan eksodus dalam konflik ini mencapai 647,000 orang sejak bulan agustus 2017 lalu.
Kasus terburuk yang memakan korban jiwa terbanyak terjadi ketika terjadi pembantaian di desa Tula Toli.
Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh MSF ini menyimpulkan bahwa operasi militer yang dilakukan sangat brutal sehingga memenuhi persyaratan untuk diajukan kasusnya ke International Criminal Court (ICC) sebagai kejahatan terhadap kemunusiaan.
Hasil penyelidikan yang dilakukan MSF merinci penyebab kematian 6.700 korban ini yaitu:
- 69,4% ditembak
- 8.8 % terbakar bersama rumahnya
- 5% dipukuli
- 2,6% dibunuh setelah diperkosa
- 1 % akibat ranjau
- 0.4 % tidak diketahu penyebabknya
- 0.3 % diculik dan hilang
- 0,2 % digorok lehernya
- 12.3 % penyebab lain nya.
Diantara jumlah korban jiwa anak anak yang umurnya di bawah 5 tahun yang jumlahnya mencapai 730 anak, 59 % diantaranya akibat ditembak, 15% dibakar sampai mati, 7% dipukuli sampai mati dan 2 % akibat meledaknya ranjau.
Pihak MSF menyatakan jumlah korban jiwa sebanyak 6.700 orang ini kemungkinan lebih sedikit dari jumlah korban jiwa yang sebenarnya karena penyelidikan ini tidak memasukkan jumlah keluarga yang tidak mencapai Banglades dalam pelariannya. Disamping itu sampai dengan saat ini masih terus terjadi arus pengungsi menuju Banglades..