Lihat ke Halaman Asli

Ronny Rachman Noor

TERVERIFIKASI

Geneticist

Gagal Paham Faisal Basri terkait Komoditas Pertanian

Diperbarui: 3 Februari 2016   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sebelumnya saya ingin menyatakan bahwa saya bukanlah simpatisan Menteri Pertanian, namun sekedar orang yang berpikir bebas yang ingin urun rembuk untuk mengajak pembaca semuanya berpikir lebih dalam dalam membahas gonjang-ganjing komoditas pertanian dalam arti luas.

Tulisan Bung Faisal Basri berjudul “Sesat Pikir Menteri Pertanian” memang sangat menarik karena mengangkat topik yang didasari oleh teori ekonomi klasik yaitu teori supply dan demand. Dengan pemikiran linier seperti ini, banyak orang berpendapat bahwa stabilitas harga akan dapat dijamin jika supply terjamin dan permintaan terjaga. Tidak ada yang salah memang dengan pemikiran seperti ini jika pasar dalam keadaan normal. Namun, khusus Indonesia di mana banyak terjadi anomali seringkali teori klasik ini tidak berlaku.

Bagian tulisan Bung Faisal Basri yang paling menarik perhatian saya adalah pernyataan berikut: “………Menyelesaikan persoalan jagung tetapi menimbulkan masalah kenaikan harga ayam dan telur. Semua dibikin repot oleh ulah Menteri Pertanian”

Saya ingin mengajak Bung Faisal berpikir lebih jauh lagi di luar batas sekedar teori supply dan demand. Dalam dunia peternakan ada wilayah yang harus kita pahami, yaitu area irisan antara ekonomi dan teknologi peternakan. Wilayah irisan inilah yang sering kali kurang dipahami oleh para ekonom karena di dalamnya ada komponen yang dinamakan politik peternakan.

Perangkap Teknologi

Ketika Alm. Bob Sadino memperkenalkan telur ayam ras di era 1970-an banyak sekali tantangan yang dihadapinya. Salah satu tantangan terbesar adalah konsumen belum terbiasa dengan telur ayam ras yang besar dan banyak berkembang isu negatif termasuk di dalamnya anggapan bahwa mengonsumsi telur ayam ras itu berbahaya. Namun, apa yang terjadi sekarang hampir sebagian besar pasokan telur dan daging nasional berasal dari ayam ras.

Teknologi peternakan ayam ras modern bukanlah karya anak bangsa ini, namun merupakan teknologi impor yang harus benar-benar kita pahami positif dan negatifnya. Negara-negara pemilik teknologi dan perusahan besar yang bergerak dalam peternakan ayam ras ini bukanlah seperti dermawan yang menyumbangkan teknologinya ke negara berkembang termasuk Indonesia.

Teknologi peternakan ayam ras ini diciptakan sedemikian rupa sehingga mencakup teknologi yang menyentuh faktor produksi utama dari hulu sampil hilir rangkaian produksi. Faktor produksi yang paling krusial dalam teknologi peternakan ini adalah bibit, obat-obatan, dan pakan (cacatan: biayanya dapat mencapai 70% dari biaya produksi total) yang apabila tidak dipenuhi salah satu unsur utama ini, maka akan gagal produksinya.

Ketiga unsur inilah yang disebut dengan perangkap teknologi yang tidak semua orang menyadarinya. Dapat dikatakan hampir semua perusahaan besar yang bergerak dalam bidang peternakan ini di mana ada unsur asing di dalamnya menguasai ketiga unsur utama produksi ini.

Terkait tulisan Bung Faisal, ada 3 komoditas pertanian yang Indonesia sampai saat ini sangat bergantung pada impor untuk memenuhi produksi telur dan daging ayam ras, yaitu kedele, jagung, dan tepung ikan. Masalahnya bertambah rumit ketika jagung dan kedele tidak saja menjadi kebutuhan konsumsi manusia, namun juga menjadi unsur vital dalam rangkaian peternakan ayam ras ini.

Bibit hibrida dalam bentuk Day Old Chick (DOC) dirancang sedemikian rupa untuk tumbuh dan berproduksi dengan sangat cepat. Kita ambil contoh untuk ayam pedaging sekarang hanya diperlukan 4-5 minggu saja agar dapat dipotong. Bandingkan dengan ayam kampung yang memerlukan waktu hampir satu tahun untuk mencapai bobot potong yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline