Gamelan Digul hasil karya tahanan politik Belanda Bapak Pontjopangrawit yang dibuat dari kaleng susu, kaleng sarden dan rantang. Photo : Departemen Musik Monash University
Ada yang menarik dalam pameran potongan sejarah Indonesia yang dibuka untuk publik di Australia National Maritime Museum (ANMM) di Darling Harbor Sydney selama 3 bulan terakhir ini. Tidak banyak warga Indonesia maupun Australia yang mengetahui bahwa pada tahun 1946 para pekerja berbagai pelabuhan di Australia termasuk Sydney melakukan protes pada penjajah Belanda yang pada tahun 1946 akan kembali menduduki Indonesia setelah baru saya Indonesia mendeklarasikan kemerdekaaan. Peristiwa ini dikenal dengan Black Armada.
Kapal sewaan Belanda SS Moreton Bay yang terkena dampak pemboikotan pekerja pelabuhan Australia yang dikenal sebagai peristiwa Black Armada yang terjadi pada tahun 1946. Photo: Australian National Maritime Museum
Dukungan para pekerja pelabuhan Australia terhadap perjuangan kemerdekaan anak bangsa Indonesia di Australia merupakan titik sejarah gagalnya Belanda menduduki kembali Indonesia. Akibat dari pemogokan tersebut sebanyak 400 kapal Balanda tidak dapat berangkat ke Indonesia karena tidak dapat memuat perbekalan dan peralatan pendukung serangan tentara Belanda kembali ke Indonesia.
Terkait dengan peristiwa ini dalam pameran sejarah ini juga ditampilkan bagian dari apa yang dinamakan Gemelan Digul, yaitu Bonang yang terbuat dari rantang. Melihat potongan sejarah ini pikiran kita pastilah melayang dan membayangkan bagaimana gigihnya dan pedihnya penderitaan anak bangsa dalam meraih kemerdekaan yang tentunya memiliki resiko untuk ditangkap oleh penjajah Belanda dan diasingkan ke wilayah sungai Digul di Papua.
Bonang yang terbuat dari rantang merupakan bagian dari Gamelan Digul yang dipamerkan di Australian National Museum Maritime. Photo: Pribadi.
Kata Digul tentu saja sangat menyeramkan bagi para pejuang saat itu, karena wilayahnya yang terpencil jauh di dalam hutan dengan jarak ratusan kilometer dari desa terdekat. Belum lagi masalah nyamuk penyebar penyakit malaria yang sudah endemik di wilayah tersebut. Namun tampaknya semangat anak bangsa ini tidak pernah luntur untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Salah satu tahanan politik di Digul adalah Bapak Pontjopangrawit. Beliau ditahan karena dianggap oleh Belanda bersalah menghasut anak bangsa lainya untuk memperjuangkan kemerdekaan sejak tahun 1920. Pria kelahiran Surakarta in kemudian pada tahun 1927 dikirim ke Tanah merah yang merupakan tempat tahanan politik di sebelah utara Digul.
Untuk menghibur rekan-rekan seperjuangannya, dalam kamp tahanan Bapak Pontjopangrawit yang seniman ini membuat gamelan dari bahan-bahan seadanya yang ada di dalam kamp seperti kaleng susu dan kaleng ikan sarden dan rantang. Kreativitasnya yang muncul dibawah tekanan dan ancaman penjajah Belanda ini berhasil menciptakan seperangkat gamelan sederhana yang dapat menghibur sesama tahanan politik dan juga menjadi pemersatu untuk membakar semangat kemerdekaan.
Copy dari Atlantic Charter 1941 yang ditandatangani oleh piminan sekutu yang mengakui hak untuk memerintah sendiri setelah berakhirnya perang dunia ke 2 yang merupakan dasar dukungan Australia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda. Sumber : National Archives and Records Adminstration Records of the Office of Government Reports, 513885
Pada tahun 1942 ketika terjadi perubahan peta kekuatan dunia dengan masuknya Jepang ke Indonesia, Gamelan Digul ini dibawa ke Australia oleh Belanda bersama dengan tahanan politiknya. Belanda memang sangat khawatir jika tahanan perang ditinggalkan di Indonesia maka akan terjadi pergerakan kemerdekaan yang lebih hebat lagi.