Lihat ke Halaman Asli

Ronny Rachman Noor

TERVERIFIKASI

Geneticist

Jurnalis Australia Memanfaatkan Kebebasan Pers Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14313327221278784979

[caption id="attachment_416644" align="aligncenter" width="518" caption="Photo: http://asiapacific.anu.edu.au"][/caption]

Mungkin Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memberikan kebebasan dan keterbukaan bagi press baik dalam dan luar negeri dalam memperoleh berita yang cukup besar seperti kasus Bali Nine mulai dari penangkapan 10 tahun yang lalu sampai dengan dihukumnya Bali Duo. Tidak hanya kasus Bali nine kasus gembong narkoba lainpun yang menyangkut warga negara asing juga demikian.

Dalam kasus Bali Nine, bagaimana keterbukaan itu sedemikian transparannya sehingga dari kasus ini sudah terbit beberapa buku yang menceritakan kasus dan kehidupan bandar narkoba dari hasil wawancara langsung. Warga Australia disajikan berita-berita bersambung bak cerita sinetron berseri yang menceritakan dari proses pengadilan, seluk beluk kehidupan keseharian mereka di penjara. Wartawan sampai dapat meliput bagaimana dan dimana mereka tidur, saat mereka mandi, saat melakukan aktivitas olah raga, saat ikut upacara, bahkan saat melangsungkan pernikahan.

Selanjutnya wartawan juga diperbolehkan meliput saat transfer mereka dari bali ke Nusa Kambangan, saat keluarga berkunjung ke Nusa Kambangan, drama kesedihan saat keluarga terpidana untuk terakhir kalinya mengunjungi tepidana mati. Selanjutnya setelah dihukum mati jurnalis juga diperbolehkan meliput ambulan pembawa jenasah, suasana ketika jenasah tiba di rumah duka sampai diberangkatkan ke negara asalnya.

Pada kasus lain yaitu kasus Corby si ratu mariyuana yang mendapatkan pengampunan dan pengurangan hukuman yang cukup spektakuler, yang bersangkutan bahkan dapat membuat film terkait kasusnya.

Keterbukaan seperti ini seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan merupakan sesuatu yang langka sekaligus berkah bagi para jurnalis yang haus berita. Tentu saja hal ini sangat positif dipandang dari sudut kekebasan press. Namun demikian akibat dari semua keterbukaan yang hampir “telanjang” tersebut dampak negatifnya juga ada.

Dengan materi yang sangat lengkap tersebut jurnalis asing di Australia berhasil meramu berita tersebut dalam pemberitaan yang sangat masif untuk menggiring opini publik sesuai dengan seleranya yang akhirnya menyudutkan Indonesia. Bagaimana dengan materi pemberitaan yang telah dipilih sesuai dengan seleranya tersebut digunakan untuk membentuk opini bahwa orang yang sudah bertobat selama 10 tahun tidak layak dihukum mati dan hanya negara barbar saja yang melakukan hal seperti ini.

Keterbukaan seperti ini tidak pernah terjadi di Australia. Para jurnalis maksimum hanya dapat meliput pada saat kasus tersebut disidangkan di pengadilan. Setelah kasus diputuskan hampir tidak ada berita sedikitpun dari terpidana narkoba setelah mereka menjalani hukuman.

Tidak akan ada kisah kehidupan mereka di penjara sampai dapat diliput sedemikian transparannya seperti di Indonesia. Jangankan meliput, waktu kunjungan pun sangat terbatas. Seperti yang sering kita lihat di film kehidupan para tahanan hanya berkisar di kamar, ruang makan, ruang santai dan workshop bagi narapidana kelompok tertentu yang beresiko rendah. Semua aktivitas mereka tentu saja dilarang diliput oleh media.

Banyak warga Australia yang berkomentar bahwa sebenarnya para tahanan narkoba di Indonesia sepengetahuan mereka dari pemberitaan jurnalis mereka adalah bebas hanya saja tidak boleh meninggalkan lingkungan penjara saja. Mereka dalam kesehariannya demikian bebasnya melakukan aktivitasnya seperti di rumah sendiri dan tidak dikurung secara ketat di dalam sel tahanan. Cerita tentang kehidupan para terpidana narkoba dan kebebasan jurnalis dalam meliput berita di Indonesia adalah cerita yang tercecer dari gunjang ganjing pelaksanaan hukuman mati Bali Duo.

Dalam sebuah tulisan akhirnya salah seorang insan press Australia menyatakan bahwa pemberitaan Bali Nine tidak dapat dinilai sebagai permainan emosi dan dramatisir kasus oleh pihak Indonesia seperti yang banyak dituduhkan, namun merupakan buah dari kekebasan press yang demikian transparannya di Indonesia yang kemungkinan tidak akan pernah terjadi di Australia sebagai salah satu negara di dunia yang mengaku menjunjung tinggi kebebasan press.

Lantas apakah memang kita harus sedemikian transparannya sehingga kita membiarkan media asing demikian bebasnya meliput sampai pada hal-hal yang sangat sensitif sekalipun?Hendaknya kasus Corby yang dalam filmnya sampai sekarang masih mengklaim bahwa dia dijebak oleh petugas badara Indonesia yang korup tidak terulang lagi. Bagaimana niat baikuntuk memberi pengampunan kepada Corby tidak digunakan oleh yang bersangkutan untuk mendeskreditkan penjara, sistem hukum dan petugas kita yang katanya sangat tidak manusiawi dan korup tersebut.

Bagaimana tsunami pemberitaan negatif terhadap Indonesia akibat diberi kebebasannya jurnalis asing meliput sebebas-bebasnya kasus Bali Duo menjadi pelajaran kita bersama dalam menangani pelaksanaan hukuman mati berikutnya.

Kebebasan press memang perlu di era modern seperti sekarang ini, namun demikian perlu diingat juga bahwa kekebasan press itu bukan berarti kita harus “telanjang” bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline