Written by Rijalul Fikri
Terpujilah "dogma" ketika setiap insan mampu membangun kerangka dari setiap darah yang memompa di nadi otak mereka, ketika kekakuan yang berbalut ketakutan telah memaksimalkan fungsi akal dalam memahami arti sebuah kebijaksanaan.
Maka "lantangkanlah" akan lisan yang berketuhanan, tidak lagi menyeret-nyeret Tuhan kedalam ruang ruang operasi bedah pengetahuan.
Sudah terlalu banyak kecerdasan karbitan, seolah penuh informasi dan ilmu terkini, Namun kebijaksanaan tak pernah mereka miliki. Lalu apa yang tersisa? Karbit karbit itu telah meracuni kecerdasan yang tak berdosa, yang tersisa hanyalah Dogma yang telah sirna dan berubah ke dalam racun racun yaitu: kebijaksanaan untuk menipu, memeras, merampok, menjebak, korupsi dan merusak kebaikan bersama.
Lalu dimanakah Dogma yang telah sirna itu?
Pernah ada satu waktu, ketika dongeng dan legenda menjadi penghantar tidur bocah bocah cilik. Dari sana ditiupkanlah energi nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit).
Bocah bocah ini kemudian tumbuh, berkelompok membentuk sistem sistem kebijaksanaan sebagai panduan utama. Berbagai kecerdasan intelektual pun kemudian lahir memberi panduan sebagai bentuk pengabdian untuk kebaikan bersama.
Lalu sang pencemburu pun mulai panik, memutar kebenaran dengan kepalsuan dalam segala bentuk banjir informasi palsu yang memporak poranda sistem kehidupan.
Maka apakah Dogma itu telah sirna?
Tidak, nalar itu hanya ter-shutdown saja, sekalipun prosesor prosesor canggih itu telah melemahkan "nalar kebijaksanaan" namun kemampuan berpikir kritis dan rasional adalah dogma utama dari setiap nyawa nyawa yang tersisa, rasionalitas akan selalu membentuk kerangka berpikir yang secara otomotis menjauhkan kita dari sikap percaya begitu saja di hadapan gempuran informasi digital, meredam hoax dan pecahnya konflik.
Berfilsafatlah, karena dengan itu manusia akan semakin bermutu, sehingga jiwa dan ragamu bisa menyentuh kebijaksanaan, yaitu dogma yang seakan sirna.