Lihat ke Halaman Asli

"Tuhan, Saya Ingin Miskin"

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BIDIKMISI. Merupakan program pemerintah untuk membantu biaya pendidikan calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi namun memiliki potensi akademik yang memadai. Awalnya, ini adalah program seratus hari kerja Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2010, kemudian berlanjut hingga saat ini. BIDIKMISI memiliki prinsip 3T, yakni Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, dan Tepat Waktu.

Dalam tulisan atau lebih tepatnya uneg-uneg ini saya sengaja hanya menyoroti prinsip yang pertama, tepat sasaran. Pada website resmi BIDIKMISI, (bidikmisi.dikti.go.id) tertulis “BIDIKMISI adalah bantuan biaya pendidikan yang hanya ditujukan untuk calon mahasiswa tidak mampu (miskin)”. Secara khusus, kata ‘hanya’ sengaja saya garis bawahi untuk menekankan tujuan dan fungsi program mulia pemerintah ini. Pertanyaannya, apakah bidikmisi benar-benar tepat sasaran? Ataukah malah meleset? Dipelesetkan?

Entah harus berapa kali saya dipaksa terkejut atas fakta di lapangan. Beberapa kali mendapati kenyataan bahwa penerima bidikmisi yang notabene adalah calon mahasiswa/ mahasiswa tidak mampu memahami makna kata ‘hanya’ dalam definisi BIDIKMISI tersebut. Mereka berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi namun sengaja mengemis dengan surat keterangan tidak mampu. Mengemis secara elegan?

Tapi, disisi lain mereka ini adalah manusia-manusia pemberani. Berani mengambil resiko besar dengan membohongi diri sendiri dan banyak pihak tentunya. Selain itu mereka cukup berani bernegosiasi dengan Tuhan. Bukankah ketika mereka membuat surat keterangan tidak mampu, secara tidak langsung mereka berdoa kepada Tuhan “Tuhan, saya ingin miskin”?

Lantas hal ini tanggung jawab siapa? Setahu saya, syarat untuk mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu dsb adalah melalui pihak-pihak pemerintahan berikut, mulai dari RT, RW, kelurahan dan kecamatan. Apakah pihak-pihak tersebut punya andil dalam legalisasi memiskinkan diri? Tentu saja. Bagaimana mungkin warga yang *‘sugih mblegedhu’ bisa mengantongi SKTM dengan begitu mudah? Apa tidak ada peninjauan terlebih dulu dari pihak pemerintahan tersebut? Kongkalinkong dalam urusan semacam ini memang sangat rentan terjadi. Apalagi semua berawal dari jajaran paling rendah terlebih dahulu, RT. Mungkin saja terjadi, pihak pengurus RT sungkan dan tidak enak hati untuk tidak menuruti keinginan warganya yang ingin memiliki SKTM, padahal sudah jelas bahwa warganya termasuk keluarga mampu secara ekonomi, kemudian berlanjut ke kelurahan dan kecamatan. Apalagi jika pihak perguruan tinggi sendiri kurang jeli dan percaya begitu saja terhadap kepemilikan SKTM calon mahasiswanya/ mahasiswanya tanpa melakukan peninjauan terlebih dahulu. Maka jadilah sebuah lingkaran, lingkaran setan? Hmm.

Longgarnya aturan serta mudahnya memiliki SKTM seharusnya memang menjadi tanggung jawab bersama dan perlu pengawasan ketat pihak-pihak terkait. Namun, urusan moral adalah mutlak tanggung jawab masing-masing. Mampu secara ekonomi, kadangkala cacat secara moral. Salam.

Ket: *‘sugih mblegedhu’=kaya raya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline