Lihat ke Halaman Asli

Kerasnya Wajah Agama di Bumi Pancasila

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aksi kekerasan bernuansa agama yang terjadi di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (1/6/2014), yang menimpa sejumlah umat kristiani pada saat beribadah, harusnya tidak perlu terjadi. Apabila, segenap elemen masyarakat mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan serta tidak main hukum sendiri.

Kejadian tersebut akhirnya, mengajak kita semua untuk kembali berpikir ulang tentang semangat keberagaman kita sebagai suatu Negara bangsa. Bukti, minimnya pemahaman mengenai toleransi dan lemahnya penegakan hukum (law inforcement) di republik ini. Pertanyaannya, apakah Pancasila merupakan “harga mati” bagi setiap warga yang berdiam di Indonesia? Dan, apakah Indonesia masih merupakan Negara hukum?

Apa yang terjadi di Kabupaten Sleman merupakan potensi ancaman sebagai bangsa yang mengusung semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu). Para founding fathers Negara ini telah sepakat dan mengakui secara final, bahwasanya Negara bangsa ini akan diteruskan sampai kepada anak cucu kita sebagai Negara yang multikultur (pruralisme) yang menghendaki adanya persatuan dan kesatuan segenap elemen bangsa di republik ini atas perbedaan yang ada.

Begitu juga dengan persoalan hukum, kerap tidak mampu menunjukkan wibawanya. Hukum harus mengalah oleh dorongan massa. Aksi main hakim sendiri, akhirnya menjadi tontonan yang jamak. Supremasi hukum menjadi barang yang mahal di republik ini. Hukum hanya milik mereka yang bermodal dan berkuasa. Sejurus anggapan, hukum hanya tumpul ke atas, tetapi tajam kebawah.

Potensi ancaman kekerasan yang bernuansa agama ini, mengingatkan kita akan nasib saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air, yang kebetulan berjumlah minoritas. Banyak kasus serupa terjadi dan tak jelas penyelesaiannya, bahkan perjuangan untuk menuntut keadilan sudah menahun. Simak saja, kasus GKI Yasmin, HKBP Philadelpia, Kasus Jemaat Ahmadiyah, Kasus Golongan Muslim Syiah, dan lain sebagainya.

Setara Institute, lembaga yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, melaporkan naiknya kekerasan pada minoritas agama, dari 244 pada 2011 menjadi 264 pada 2012. Begitu juga Wahid Institute mencatatkan hal yang sama, kelompok sipil lain yang juga berbasis di Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran kebebasan beragama dan 184 peristiwa intoleransi agama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010.

Negara kita yang harusnya tidak mengenal istilah minoritas dan mayoritas,--saat Negara ini mendeklarasikan dirinya menjadi Negara bangsa yang mendasari hidupnya dari nilai-nilai Pancasila. Namun, terpaksa harus mengidentifikasi kekurangan dirinya melalui pendekatan minoritas dan mayoritas. Dan, apabila kejadian yang terjadi di Kabupaten Sleman dibiarkan tanpa penegakan hukum yang jelas, maka sangat potensial efeknya akan menyebar dan menjalar ke segenap wilayah di Indonesia, sehingga mengancam keutuhan negeri.

Sejarah Negara Bangsa

Sejarah telah mencatatkan kelahiran Pancasila merupakan proses yang panjang dan perdebatan tinggi yang cukup alot oleh para pendiri Negara. 1 Juni yang setiap tahun diperingati Negara ini sebagai hari lahir kelahiran Pancasila, mengingatkan kita akan pesan-pesan kebangsaan, khususnya menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara dengan mengusung konsep persatuan kesatuan dalam keberagaman.

Indonesia yang dikaruniai berjuta potensi perbedaan, mulai dari agama, suku, ras, bahasa dan lain-lain harus dikelola dengan baik dan benar untuk menciptakan Indonesia yang bersahabat untuk setiap perbedaan. Dan, Negara ada untuk menjamin keberlangsungan perbedaan itu.

Setali tiga uang, Negara juga harus bertransformasikan dirinya menjadi Negara hukum, bukan Negara kekuasaan. Sebab, hukum kita mengenal kedudukan setiap warga Negara adalah sama. Tidak memandang status, latar belakang, afiliasi politik dan segenap atribut perbedaan yang ada. Sehingga, keberlangsungan Negara pruralis ini lebih terjaga.

Perdebatan mengenai dasar Negara ini sedari awal telah melewati perdebatan panjang antara merumuskan Negara Indonesia sebagai Negara bangsa atau Negara berbasiskan agama. Adanya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) adalah bukti, yang salah satu usul pasalnya menghendaki Negara ini untuk menjalankan Syariat Islam harus melakukan kompromi kebangsaan dengan pihak-pihak pendiri Negara yang keyakinannya berada diluar Islam. Akhirnya, sila pertama dari Pancasila kita menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dan bukan berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Kebesaran hati para golongan mayoritas di Negara ini telah membuka peluang Negara ini menjadi Negara besar yang menghormati sejarah dan menghargai perbedaan. Sejarah telah mencatatkan Negara ini diperjuangkan oleh berbagai golongan yang ada. Baik itu, umat Islam, Kristen, Hindu, Budha, Jawa, Batak, Bugis, Minang, Sunda, Tionghoa dan lain sebagainya. Buktinya, sejarah mencatatkan pahlawan-pahlawan Indonesia muncul dari berbagai latar belakang, yang sepenuh hati mengabdikan dirinya untuk Indonesia yang lebih baik.

Pancasila (Belum) Harga Mati

Atas kejadian yang terjadi di Sleman dan beberapa kasus yang terjadi yang bernuansakan agama, patut diduga bahwa jargon kebangsaan yang mengatakan “Pancasila merupakan harga mati” harus dipertanyakan. Kejadian yang terus berulang yang mengedepankan cara-cara yang tidak beradab dan tidak mengakui eksistensi Negara sebagai Negara hukum harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.

Pemerintah Indonesia dinilai gagal melindungi kaum minoritas dari kekerasan dan intoleransi atas nama agama, setidaknya itulah laporan Human Rights Watch. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta harus tegas dan zero tolerance terhadap siapapun yang main hakim sendiri atas nama agama.

Atas kegagalan ini, maraknya kelompok militan, radikal dan fundamental terhadap ajaran tertentu tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Biasanya kelompok ini, tidak terlalu menghiraukan hukum yang ada. Mereka bertindak seperti penegak hukum yang mengadili mereka-mereka yang dianggap bersalah. Alhasil, hukum rimba pun menjadi tontonan masyarakat dan biasanya kelompok minoritas-lah yang menjadi korbannya.

Pemerintah tidak boleh diam dan melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan yang melanggar hukum yang mengatasnamakan agama. Agama tidak seharusnya menjadi “kambing hitam” membenarkan tindakan kekerasan yang terjadi. Potensi kekerasan mengatasnamakan agama menyimpan sejuta potensi untuk memecah belah bangsa ini. Untuk itu, pemerintah harus cepat turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut guna memulihkan kepercayaan kepada Negara.

Peraturan yang Meresahkan

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 terdapat pasal-pasal berikut yang mengatur tentang kebebasan beragama. Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” dan Pasal 28E ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Anehnya dalam beberapa kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama yang terjadi di daerah. Menurut Human Rights Watch, pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan justru menyalahkan korban minoritas,. Para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum.

Dalam Kasus GKI Yasmin misalnya, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung—sebagai keputusan tertinggi, yang memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka. Sebuah ironi yang katanya Indonesia sebagai Negara hukum.

Di banyak kekerasan yang mengatasnamakan agama, biasanya berpangkal tentang perijinan yang berkaitan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 menteri yaitu menteri agama dan menteri dalam negeri. Amanat UUD NRI 1945 yang mengatur tentang kebebasan menjalankan agama/keyakinannya dibatas-batasi (inkonstitusional) oleh SKB 2 menteri ini. Entah, sudah berapa banyak kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama yang terjadi akibat peraturan ini. Harusnya pemerintah mengkaji secara serius implikasi SKB 2 menteri ini. Lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Semangat Pancasila yang mengajarkan toleransi perbedaan harus dimaknai seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, peraturan yang meresahkan bagi keberlangsungan Negara ini harus dievaluasi dan dicabut bila diperlukan.

Pancasila adalah harga mati bagi mereka yang tidak buta sejarah. Yang menghendaki bangsa Indonesia ini maju dan berkembang dengan menghargai perbedaan yang ada. Sesuai dengan cita-cita para pendahulu kita. Indonesia hebat dengan perbedaan tanpa kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline