1 Oktober adalah tanggal keramat bagi bangsa Indonesia. Tanggal yang menandai tampilnya kekuatan dan kekuasaan baru. Kekuatan yang membuldozer utopia Karl Mark di negeri para mantan aktivis rodi di era kolonialisme Belanda. Juga mantan aktivis romusa di masa Jepang. Utopia yang sengaja diciptakan untuk kalah. Kekuatan pembuldozer itu di kemudian hari memagneti arus investasi asing yang menyuarakan aspirasi lawan-lawan bebuyutan Mark, juga Frederick Engels: kaum pemilik modal (borjuis). Sampai hari ini.
Kekuatan dan kekuasaan baruitu tidak beranjak dari angan-angan Mark. Hanya berdiri pada sisi yang berkebalikan. Seperti ujung tongkat yang membutuhkan ujung yang lain. Pada saatnya justru menegaskan kembalinya totalitarianisme Mark dengan desain baru: 'kapitalisme’ (baca: totalitarianisme kapital). Tetapi masih mengkabut. Menjadi terang secara figuratif melalui tafsir tunggal dasar negara: Pancasila.
Di bawah rindang Pancasila kekuatan dan kekuasaan baru itu berteduh. Saya jadi mulai sedikit memahami, mengapa Golkar melambangkan dirinya dengan pohon beringin. Rupanya, di antara sekian banyak jenis pohon memang beringinlah yang bisa paling memberikan kesejukan dan keteduhan optimal. Kerindangannya mematahkan sinar matahari yang terik. Dalam ranah politik kesejukan itu bisa bermakna, satu di antaranya adalah, kepura-puraan yang dilindungi agar tidak diendus pihak lain. Kepura-puraan yang dirasa menyejukkan dan menentramkan.
Pembuldozeran yang sukses itu melahirkan sosok bernama Pancasila Sakti. Sakti berarti kekuatan, kekuasaan atau energi. Sebuah konsep keagamaan (Hindu) yang mewujudkan aspek ‘kewanitaan’ Tuhan. Kadangkala dianggap sebagai ‘Ibu Surgawi’. Sakti melambangkan keaktifan, asas dinamis dari kekuatan feminin. Dalam Shaktisme, Sakti dipuja sebagai Dewiyang utama. Meskipun, dalam tradisi Hindu lainnya, Sakti juga merupakan penjelmaan dari energi aktif atau kekuatan dari seorang Dewa (Purusha), meski tetap feminin. Seperti Dewa Wisnu dalam Waisnawa atau Siwa dalam Saiwisme. Saktinya Dewa Wisnu disebut Laksmi, dan Parwati merupakan saktinya Dewa Siwa.
Pancasila Sakti adalah konstruksi nilai baru pada jamannya. Melambangi tata nilai politik baru. Menghentikan kebebasan yang terkendali –demokrasi terpimpin. Menggiring dan mempengaruhi opini orang banyak. Mampu merobohkan kokohnya sebuah rezim. Menangnya ‘kekuasaan’ atas ‘kekuasaan’. Kekuasaan yang mampu menumbangkan kekuasaan sebelumnya selalu berlindung di bawah tata nilai dalam pusaran tafsirnya sendiri, tetapi mampu merebut opini.
Kesaktian Pancasila kembali mengerah pada awal reformasi. Tidak pada tubuh para penafsir yang terbatas di kalangan militer (Angkatan Darat). Tetapi pada ‘semua’ (the all, sekabehane) dan individu di dalamnya. Mereka membuat lirik penafsiran yang sama: reformasi adalah Suharto turun. Tata nilai yang menggusur nilai-nilai Suharto. Kali ini, tata nilai yang disusun oleh ‘semua’ menjadikan militer bak pecundang. Si pecundang lalu beranjak dari kerindangan beringin yang tidak lagi rindang. Beringin itu telah membonsai, menjadi kerdil dan malih rupa menjadi sebuah partai yang tak beda dengan partai lain.
“Reformasi adalah Suharto jatuh” tak berumur panjang. Sebab Suharto mengaminkan, atau terdesak untuk itu. Tergantikan oleh “reformasi adalah demokrasi”. Tata politik yang selalu berada dalam eksperimentasi hingga hari ini. Pada aras ini, setiap orang mulai menggubah lirik dan nadanya sendiri-sendiri. Individu dalam ‘semua’ tak lagi punya pekik yang sama, “Rakyat Bersatu, Melawan Orde Baru.” Hari ini ‘semua’ telah sirna, yang tersisa adalah ke’sendiri’an dalam ‘semua’ yang dianggap ada. Ke’sendiri’an yang ingin menjadi ‘semua’. Memaksa diri dan yang di luar diri untuk menjadi ‘semua’. Hari ini, setiap orang adalah Suharto yang tak direstui jaman.
“Reformasi adalah demokrasi” menggontai berjalan. Pancasila direngkuh demokrasi yang tak diberi arti ,dan dibiarkan mengeliar dalam eksperimentasi para pembelanya yang bukan ‘semua’ tetapi bernafsu mengatasnamakan ‘semua’. Pancasila tak lagi mampu bersila seperti Dewa Wisnu atau Siwa. Lalu, saya pun bertanya, apakah Pancasila masih sakti? Jangan-jangan, ia memang tak pernah sakti sejak semula. Apakah 1 Oktober sudah tak keramat lagi? Jangan-jangan, selama ini hanya dikeramat-keramatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H