Lihat ke Halaman Asli

Karena Aku Perempuan

Diperbarui: 5 September 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena aku perempuan. Tuhan menciptakan aku sebagai makhluk dua sisi; menakjubkan sekaligus memuakkan. Tuhan memberiku ujian dengan pujian dan kritik. Yang mana bila aku larut dalam salah satunya, kerusakanlah yang menghampiriku. Bukan kebahagiaan. 

Karena aku perempuan. Lingkungan memelukku dengan sayap berduri. Durinya lebih tajam daripada pedang yang paling tajam. Membalas pelukannya, salah. Tidak membalas, lebih salah. Mengatakan kau pelacur terang-terangan, salah. Tidak mengaku kalau kau pelacur, lebih salah. Kurang lebih begitu.

Karena aku perempuan. Diperlakukan sebagai anjing pun, justru terkulai. Karena bukan laki-laki yang sering kali menjadikanku layaknya hewan. Malah sesama perempuan yang melakukannya. Perempuan, yang kukira sejenis dan paling mengerti beban yang aku tanggung, berbalik menusukku. Bibir mereka indah, juga busuk di dalamnya.

Karena aku perempuan. Perempuan kecil, perempuan remaja, perempuan dewasa, perempuan janda, perempuan tua. Pernahkah sekali saja mereka berpikir, bahwa menjadi perempuan itu sangat sulit. Bayi perempuan kebanyakan diberi anting di telinganya beberapa saat setelah ia lahir. Hanya untuk membedakan kalau ia-lah perempuan.

Perempuan remaja yang kesulitan mengontrol emosinya. Setiap bulan, kebanyakan dari mereka, mengeluhkan sakit tak terkira. Merasakan minder untuk pertama kalinya. Membayangkan ada di posisi yang lebih baik dari tempat mereka sekarang. Remaja, apalagi perempuan, itu penuh gejolak.

"Kamu sudah dewasa! Cepat menikah! Keluarga malu punya perawan tua!" adalah kalimat yang sering dicuap-cuapkan saat perempuan dianggap cukup umur untuk menikah sedangkan pikiran masih ingin bekerja atau berkarya. Kemudian merasa ada hal yang memperparah keadaan; kenyataan bahwa keluarga sama sekali tak peduli hasil kerjanya -hasil karyanya, dan memilih mengagung-agungkan pernikahan di atas segalanya. 

Sedangkan yang ada di pikiran perempuan adalah mengapa keluarga yang diharapkan bisa membelanya, justru melarang seorangpun untuk membelanya. Bahwa ia salah, ia harus dibenarkan. Pernikahan lebih penting daripada bekerja dan berkarya. Pernikahan bisa membuatnya lebih 'wanita'. Bisa 'mengurung' perempuan untuk diam di rumah. 

Suami yang terlantar, anak-anak yang kurang kasih sayang, pekerjaan yang menumpuk. Siapa yang akan dituding masyarakat? PEREMPUAN! 

Suami yang tak tahan, anak-anak yang menangis memohon untuk tetap tinggal dengan orangtua yang utuh, hati yang penuh beban. Siapa yang akan menjadi bisik-bisik tetangga bila ia bercerai? PEREMPUAN! 

Kata siapa janda itu enak? Kata siapa janda itu tak punya masalah? KATA SIAPA?

Sesulit ini menjadi perempuan dan aku ditakdirkan hidup sebagai perempuan. Mengeluh begini, dianggap tak bersyukur. Tidak mengeluh, di hati ini rasanya sakit. Saling menyalahkan dan berakhir perang antar sesama. 

Di kehidupan setelah ini, kalau misalnya harus hidup lagi Ya Allah, aku ingin menjadi harimau saja. Sudah begitu saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline