Lihat ke Halaman Asli

Bumi Tikus

Diperbarui: 16 Desember 2022   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Dalam sunyi yang ku hidupkan dalam redup-redup yang dini, ada diri yang berkutik pada mesin tik pada pukul 4 pagi. Mawar itu sudah tak lagi rekah, dalam pelukan hitamnya, ia dengarkan isakannya.

Pada bumi yang ia pijak, dunia-dunia individual, ia berusaha keras untuk mencintai. Tersebutnya budak, tapi ia enggan mengakuinya. Bertahan alihnya.

Walau langkah itu menyebutnya, mencicipi hawa baru, idealis itu tertempis habis. 'Biarkan dan jalani saja' kalimat yang entah berapa kali hati mengeram dan menggertak ketika gelap-gelap itu berhasil membuatnya patah.

Jika diri memiliki harga, ia memiliki prinsip yang terus terpegang. Apakabar jika lutut-lutut itu kembali menekuk, dan tangan mengancungkan dirinya, menerima suatu fakta yang tetiba seluruh alam semesta buta. Teringat, pelecehan seksual itu dalam kota-kota besar, korban selalu salah.

Ketika mereka tak memiliki bukti, 'angkat bibir' katamu? Bumi ini tidak berlaku untuk itu, sabar itu masih ada, walau benci mendengar ketika tokoh antagonis memainkan permainan kasta-kasta kepala tikus.

Jika dunia menjadi hak-hak tikus, tidak salah jika mereka mengambil hak-hak mu, sampai detik ini.

-Roz, 2022




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline