Dalam sunyi yang ku hidupkan dalam redup-redup yang dini, ada diri yang berkutik pada mesin tik pada pukul 4 pagi. Mawar itu sudah tak lagi rekah, dalam pelukan hitamnya, ia dengarkan isakannya.
Pada bumi yang ia pijak, dunia-dunia individual, ia berusaha keras untuk mencintai. Tersebutnya budak, tapi ia enggan mengakuinya. Bertahan alihnya.
Walau langkah itu menyebutnya, mencicipi hawa baru, idealis itu tertempis habis. 'Biarkan dan jalani saja' kalimat yang entah berapa kali hati mengeram dan menggertak ketika gelap-gelap itu berhasil membuatnya patah.
Jika diri memiliki harga, ia memiliki prinsip yang terus terpegang. Apakabar jika lutut-lutut itu kembali menekuk, dan tangan mengancungkan dirinya, menerima suatu fakta yang tetiba seluruh alam semesta buta. Teringat, pelecehan seksual itu dalam kota-kota besar, korban selalu salah.
Ketika mereka tak memiliki bukti, 'angkat bibir' katamu? Bumi ini tidak berlaku untuk itu, sabar itu masih ada, walau benci mendengar ketika tokoh antagonis memainkan permainan kasta-kasta kepala tikus.
Jika dunia menjadi hak-hak tikus, tidak salah jika mereka mengambil hak-hak mu, sampai detik ini.
-Roz, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H