Rozana Fakhrunnisa
Saat ini hampir di seluruh penjuru dunia sedang menghadapi wabah Covid-19 yang disebabkan oleh virus Corona. Tidak terkecuali negara kita, Indonesia. Wabah yang mulanya berasal dari Wuhan, Tiongkok, ini menyebar dengan cepat sekali ke negara-negara lain di lima benua. Korbannya pun terus meningkat. Media berita online dan televisi didominasi oleh berita tentang wabah ini beserta beragam hal yang terkait dengannya. Bahkan di media sosial, seperti Whatsapp, setiap hari tidak pernah sepi orang membicarakan wabah ini. Aneka macam berita bermuculan, dari yang sifatnya informatif, sugestif, maupun hoax.
Berbagai berita dan tulisan terkait wabah Covid-19 yang terlanjur menyebar ternyata menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat. Ketika rasa panik dan takut muncul karena virus Corona, tubuh memberikan reaksi sugestif dengan memunculkan gejala yang serupa dengan gejala Covid-19. Banyak orang menjadi paranoid dan seolah-olah merasakan gejala seperti terkena virus Corona. Malah, kita dengar dan lihat dari berita dalam beberapa hari belakangan ini, sampai-sampai ada warga yang menolak pemakaman jenazah orang yang meninggal gara-gara Covid-19 di wilayah mereka dengan berbagai macam alasan. Perasaan semacam ini disebut psikosomatis.
Bagaimana pikiran dapat menimbulkan penyakit?
Dilansir Psychology Today, Psikosomatis adalah penyakit di mana pikiran bawah sadar menghasilkan gejala fisik tanpa penyakit yang menyebabkan seolah-olah merasakan gejala sakit fisik namun tidak terdapat penyakit apapun. Hal itu terjadi karena kecemasan, stres, dan depresi.
Sebagaimana kita semua mungkin pernah alami, pikiran dapat menyebabkan gejala fisik. Misalnya, pada saat kita cemas, jantung kita akan berdebar lebih cepat, gemetar, napas menjadi cepat, keringat dingin keluar, sakit perut, dan gejala-gejala lainnya. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya impuls saraf dari otak ke seluruh bagian tubuh. Selain itu, gejala fisik tersebut dapat juga disebabkan oleh pelepasan adrenalin.
Menurut dr. Andri, Sp.KJ dari Omni Hospital Alam Sutera, memori dan pusat kecemasan berada di amigdala yang berfungsi mengatur emosi dalam ingatan. Ketika saraf kecemasan aktif, maka ingatan akan kembali aktif apalagi ditambah dengan situasi seperti sekarang ini. Ketika kecemasan itu datang, gejala-gejala Covid-19 itu bisa tiba-tiba muncul karena diaktifkan oleh sistem saraf otonom. Sayangnya, otak kita lebih responsif terhadap hal-hal negatif. Otak kita cenderung lebih banyak menyerap hal-hal negatif (yakni lebih dari 80%) dibanding hal-hal positif.
Situasi mencekam di tengah pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini dapat menyebabkan gangguan kejiwaan berupa kecemasan dan perubahan perilaku yang sangat mungkin berimbas pada kondisi fisik. Berlebihan dalam mengonsumsi, menonton, atau membaca berita mengenai virus Corona yang sedang terjadi saat ini bisa membuat orang melakukan self-diagnosis, yaitu melakukan diagnosis terhadap kondisi dirinya tanpa berkonsultasi dengan ahli.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, wajar bila kita ikut mengalami ketakutan dan kecemasan. Namun rasa takut dan cemas itu harus dihentikan, tidak boleh kebablasan. Kita harus berpikir realistis dan rasional mengenai wabah penyakit ini beserta dampaknya. Berikut ini kiat-kiat untuk mengendalikan emosi pada saat terjadi pandemi seperti Covid-19 yang dimuat dalam laman Very Well Mind:
1. Membaca berita dari sumber yang tepercaya
2. Fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan
3. Lakukan perawatan diri dengan menjaga kebersihan diri
4. Berjemur selama 10 menit pada jam 10 pagi
5. Ganti pakaian ketika dari luar
Selain itu, pendekatan spiritual dapat dilakukan dengan berdoa kepada Tuhan YME. Doa, sebagaimana dialami oleh beberapa pasien yang dinyatakan sudah sembuh dari Covid-19, adalah sumber kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan berdoa dan berpikiran positif mereka mendapatkan ketenangan batin dan akhirnya mampu mengatasi rasa cemas yang berlebihan. Bagi kaum Muslim, sholat dan membaca al-Qur'an juga dapat menjadi penenang dalam kondisi apapun, sebagaimana diterangkan oleh Jalaluddin As-Suyuti dalam bukunya Mukhtashar ath-Thibb an-Nabawi.
Solusi