Lihat ke Halaman Asli

Mencermati Keberhasilan Jokowi Di Solo

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1347824038733082065

Babak final pertarungan merebut kursi DKI 1 segera dihelat. Pemungutan suara pilkada putaran dua sudah di depan mata-20 September 2012 mendatang. Dua pasang kandidat, Foke-Nara dan Jokowi-Ahok tengah mengambil ancang-ancang mengambil posisi start. Melihat atmosfer pemilihan, Jokowi memang di atas angin. Pada putaran pertama, Jokowi unggul atas Fauzi Bowo. Jokowi-Ahok menggenggam 43 persen lebih suara. Sementara Foke-Nara bermodal 33 persen lebih suara. Pasangan yang diusung Gerindra dan PDIP itu mampu meyakinkan 1.847.157 warga untuk mencoblosnya. Sedangkan pesaingnya, calon incumbent Fauzi Bowo hanya dapat 1.476.648 suara. Melihat angka itu, praktis Jokowi hanya membutuhkan 8 persen untuk bisa menjadi orang nomor satu di Ibukota. Semakin hari nama Jokowi kian bersinar. Figurnya disenangi Warga Jakarta. Apa sebab. Pencitraan atau prestasikah? Selama ini warga Jakarta dihibur oleh cerita keberhasilan Kota Solo. Mereka berharap sentuhan Jokowi mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di DKI. Padahal jika kita melihat pemberitaan media lokal Kota Solo, tidak selalu Jokowi itu hebat. Bisa dilihat dari kegagalan-kegagalan selama ia memimpin. Tata kota dalam hal pengelolaan PKL gagal tidak sebaik yang diberitakan. Misalnya, Pasar Notoharjo banyak yang kosong dan dikuasai orang luar Solo. Banyak PKL yang kembali berjualan di jalan-jalan yang mestinya steril dari PKL. Pengelolaan CityWalk juga dinilai gagal. Tidak berfungsi menjadi wahan wisata baru. Selain itu, banyak penyimpangan dalam tahap pembangunan, dan menjadikan kawasan Jalan Slamet Riyadi kebanjiran karena banyak saluran dranaise yang tertutup. Dan Menghilangkan akses jalan untuk becak dan sepeda kayuh. Belum lagi soal tunggakan listrik. Pemkot Solo menunggak biaya tagihan listrik hingga 17.000 titik lampu peneranga jalan. Akibatnya listrik dimatikan dan kota gelap gulita. Hal ini berkaitan dengan kegagalan pengelolaan Keuangan Daerah yang tak efektif dan transparan. Disebutkan juga ada kelebihan dana yang dibayar masyarakat rata-rata sebesar Rp400 juta setiap bulan tetapi tidak jelas kemana larinya. Kemudian pengentasan kemiskinan yang tak kunjung membaik, data angka dari tahun terbukti memburuk. Tahun 2009, jumlah warga miskin sebanyak 107.000 jiwa, tahun 2010 sebanyak 125.000 jiwa dan tahun 2011 sebanyak 130.000 jiwa. Perseteruan dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengenai bangunan cagar budaya pabrik es Sari Petojo yang dipertahankan Jokowi dari pembangunan mall dan hotel. Yang sebenarnya adalah pembungkusan isu sebenarnya soal BP3 Jawa Tengah. Banyak program yang mandeg. Misalnya pelebaran tanggul Bengawan Solo, program Mider Praja (kegiatan khas pemerintahan Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo dengan mengunjungi perkampungan di Kota Solo tiap Jumat pagi banyak dinanti warga Solo yang ingin curhat), serta proyek Terminal Tirtonadi yang terbengkalai. Tidak hanya di Jakarta, banjir juga menggenangi Solo. Di bawah kepemimpinan Jokowi, Solo dikatakan relatif minim banjir (terakhir kali banjir besar Bengawan Solo pada 2007). Tetapi pada awal 2012, Solo kembali diterjang banjir besar, bukti bahwa problem ini belum usai. Sosok Jokowi memang terlihat sederhana dan dekat dengan rakyat. Dia kalem dengan tutur kata yang teratur dan sopan. Bila ditanya, Jokowi selalu menjawab dengan pemilihan kata yang cerdas. Tapi, bukan sekadar itu yang dipunya oleh pemimpin. Pribadi Jokowi yang elok harus didukung oleh kecakapannya dalam membuat konsep. Salah satunya bisa direpresentasikan melalui pogram-program dan mengimplementasikannya. Sejauh ini sih saya belum melihat apa program Jokowi yang konkret untuk Jakarta. Sekian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline