Lihat ke Halaman Asli

Pemilu Belanda 2012, Saatnya Warga eks Maluku dan Papua Bikin Partai Sendiri

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1335467365239052488

[caption id="attachment_177362" align="aligncenter" width="438" caption="foto : rnw.nl"][/caption] Bubarnya kabinet Belanda pimpinan Perdana Menteri (PM) Mark Rutte beberapa hari lalu akibat krisis ekonomi yang terus mengguncang negeri itu, memungkinkan Pemilu yang diagendakan pada 2015 itu harus dipercepat. Kabinet Rutte jatuh akibat terlindas krisis Zon Euro yang sebelumnya telah menghantam Yunani,Portugal,Spanyol,Skotlandia,Italia dan kini tengah mengancam Perancis, Jerman maupun Inggris.

Rutte terpaksa mengembalikan jabatan PM-nya kepada Ratu Beatrix karena tak mampu mengatasi persoalan perekonomian yangmandeg, pengangguran yang terus meningkat, dan hutang pemerintah yang semakin menggunung melampaui prediksi yang bisa dipertanggung-jawabkan. http://politik.kompasiana.com/2012/04/26/nasib-moluccas-di-belanda-pasca-kejatuhan-kabinet-mark-rutte/

Jika Pemilu jadi digelar dalam dua atau tiga bulan kedepan, berarti Pemilu kali ini sama dengan Pemilu Juni dua tahun lalu, yang dilakukan di tengah krisis di negeri yang selama ini dikenal selalu stabil itu.

Jumlah warga eks Maluku di Belanda

Jumlah penduduk Negeri Belanda yang katanya hampir sama banyak dengan jumlah warga Jakarta atau sekitar 18 juta jiwa itu, sepuluh persennya adalah keturunan asing atau imigran non-Barat. Menurut seorang jurnalis senior asal Belanda, Hilda Janssen dalam pembicaraan dengan Antara biro Kupang empat tahun lalu, ketika ia habis meliput pemilihan Presiden Timor Leste mengatakan, warga eks Maluku di Belanda saat ini sudah lebih dari 100 ribu orang. Mereka tinggal tersebar di hampir semua wilayah di Belanda setelah mendapat bantuan pemukiman dari pemerintah. Dalam perkembangannya, ada daerah tertentu menjadi kantong wilayah warga eks-Maluku, seperti dibagian timur Apoldo, Egecht dan Sittard di bagian selatan Belanda. Sayangnya, Hilda Janssen tidak merinci tentang jumlah warga eks Papua.

http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=2449

Merujuk pada Pemilu Belanda Juni 2010 lalu, peserta Pemilu berjumlah 61 partai untuk memperebutkan 76 kursi di Parlemen. Untuk meraih satu kursi di Parlemen, suara yang terkumpul minilam 65.000 suara. Dengan jumlah partai sebanyak itu, dapat dipastikan bahwa tidak ada partai yang bisa menang mutlak (76 kursi parlemen). Kondisi ini juga memusingkan ketika penyusunan kabinet. Inilah salah satu sebab mengapa kabinet Mark Rutte hanya mampu bertahan selama 558 hari. Dukungan suara mereka di Parlemen (Partai Liberal atau VVD) sangat lemah, ditambah pecahnya kongsi VVD dengan Parta Demokrat Kristen CDA sehingga ia harus berjibaku dengan Partai Kebebasan atau PVV pimpinan Geert Wilders yang anti-Islam itu, ketika membahas pemotongan anggaran sebesar 13,1 milyar Euro.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tidak-ada-jago-utama-di-pemilu-belanda

Trend Isu

Sistem Politik di Belanda memang memungkinkan untuk mendirikan banyak partai. Ideologi ‘kiri’ dan ‘kanan’ tak masalah bagi negeri kincir angin ini. Trend isu Pemilu kali ini diprediksi masih sama dengan Pemilu kali lalu, yaitu penghematan dan integrasi kelompok migran. Dalam berbagai kesempatan, Geert Wilders dikenal cukup intens menyuarakan isu ini. Kita ingat, beberapa waktu lalu, aparat keamanan Belanda (mungkin atas desakan parlemen) melakukan razia besar-besaran di kota-kota tertentu untuk menertibkan imigran ilegal. Ini bisa saja membuat warga eks Maluku dan Papua serta warga pendatang lainnya di sana merasa tidak nyaman.

Jika para tokoh eks Maluku dan Papua di Belanda cukup jeli memanfaatkan trend isu ini, tentu mereka bisa meraih simpati para elektorat dari kalangan keturunan non barat yang berjumlah 1,8 juta jiwa itu.

Langkah politik ini mungkin sudah pernah dipikirkan. Dan ini jauh lebih positif, ketimbang mereka terus-menerus berkutat dalam kegiatan ilegal mendirikan RMS di Indonesia dari Belanda. Lebih realistis jika mereka segera membentuk Partai Politik, lalu ikut pemilu. Taruhlah nama partainya “Moluccas Party”, atau “Partai Satu Darah” atau apalah namanya. Siapa tahu bisa meraih satu atau dua kursi parlemen. Apalagi bisa lolos ke kabinet.....

Demikian pula dengan warga Papua, daripada mati-matian berkampanye untuk mendirikan ‘negara’ papua barat yang tentu saja akan berbenturan dengan hukum Indonesia (makar), lebih baik berpolitiklah secara sah dan santun di negeri Belanda.

Ini juga sebagai ujian bagi Ratu Belanda, apakah mereka masih serius mendukung ideologi RMS dan negara West Papua? Jika tidak, ini sekaligus pembuktian bahwa ideologi RMS dan Papua merdeka, hanyalah ambisi politik segelintir orang saja. Sebut saja, mereka itu ‘petualang politik’ yang demi ambisi politik pribadi dan kelompoknya, rela mengorbankan orang-orang Maluku dan dan lebih-lebih generasi muda Papua untuk dibenturkan dengan aparat keamanan RI yang oleh konstitusi negeri ini ditugaskan untuk menjaganya hingga titik darah penghabisan dari tangan-tangan jahil kaum separatis. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline