Lihat ke Halaman Asli

Pemicu Kerusuhan di Arena “Sumbu Pendek”

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerusuhan memang tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berkelindan dengan persoalan lain, utamanya masalah ketimpangan sosial dan persoalan politik yang sudah sekian lama terendap dan nurani keadilan masyarakat di daerah itu. Tulisan sederhana ini tidak bermaksud mengulas apa yang terjadi pada 11 September lalu di Ambon dan 25 September di Solo, kendati pemicunya boleh jadi sama dan sebangun, yakni terpeliharanya anggapan “miring” di dalam dua komunitas warga yang berbeda “predikat” bahwa kelompok lain telah merugikannya. Tulisan ini langsung menukik pada upaya menggali dan menemukan salah satu benih baru pemicu konflik di Ambon, Maluku, yaitu KORUPSI. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyakit sosial yang satu ini telah membanjiri seluruh pelosok negeri ini, termasuk di Maluku. Sayangnya, belum ada upaya signifikan dari institusi yang memiliki otoritas di bidang itu untuk mengusut dan menindak secara tegas para pelakunya. Banjir Korupsi Jauh-jauh hari sebelum pecahnya konflik 11 September di Ambon, media lokal berulang-kali memberitakan masalah korupsi di wilayah ini. Seperti misalnya ada kecurigaan publik terhadap anggaran pembangunan rumah pribadi Gubernur Maluku KA Ralahalu yang saat ini berdiri megah di kawasan Halong Atas Kecamatan Baguala Kota Ambon dengan anggaran sebesar Rp. 10 milyar yang dikerjakan oleh Hendri Kwanandar. Sebelumnya, Hendrik mendapat kepercayaan untuk membangun Mes Maluku berlantai delapan pada tahun 2005. senilai Rp 38,9 milyar, yang disedot dari APBD Maluku. [caption id="attachment_133585" align="alignleft" width="300" caption="Gedung DPRD Maluku"][/caption] Ada proyek pembangunan Kantor DPRD Maluku tahun 2006 senilai Rp. 49.046.040.000, yang kemudian dinaikkan menjadi Rp. 57,5 milyar yang juga dikerjakan oleh kontraktor Hendrik Kwanandar. Ada juga seorang terdakwa diPengadilan Negeri Tual bernama Frangky Kwanandar terkait kasus korupsi proyek Pengadaan Bagan pada Dinas Kelautan & Perikanan kab.Maluku Tenggara thn 2006,senilai Rp.883 juta. Ada pelelangan barang rampasan untuk negara dalam kasus tindak pidana korupsi dengan terpidana Drs. Moch. Harun Let Let alias Drs. Harun M. Nur L, melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Ambon tgl 26 Mei 2010, berupa tanah puluhan hektar dan asset milik terpidana dengan total nilai Rp 1 miliar lebih. Ada proyek fiktif di Kabupaten Buru Selatan (Busel) sebesar Rp64 miliar. Ada sekitar 90 kasus dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat Busel ke bidang pengaduan KPK. Ada dugaan penyalah gunaan dana DIPA dan DAK di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Tahun 2006 senilai Rp 9,110 Milyar yang juga sudah dilaporkan ke KPK. Juga ada laporan warga ke KPK soal penyalah gunaan dana DIPA dan DAK di Dinas Perhubungan MTB untuk pembangunan Bandar Udara Saumlaki sebesar Rp 30,55 Milyar. Pengalihan isu Apakah ada keterkaitan langsung antara kerusuhan 11 September lalu dengan kasus-kasus korupsi di atas? Koordinator Mollucas Democratization Watch (MDW), Iksan Tualeka kepada media lokal mensinyalir ada kaitannya dengan upaya pengalihan perhatian publik terhadap isu dugaan korupsi di Maluku, yang saat ini sementara dibidik KPK. Sekedar informasi, akhir 2010 lalu Tim KPK berjumlah lima personil yang dikomandai Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmi berada kurang lebih seminggu di Ambon untuk menyelidiki berbagai dugaan korupsi di daerah ini. Namun belum ada upaya signifikan yang dilakukan KPK terkait hasil temuannya, dan masyarakat Maluku sudah tak sabar menunggu proses hukum KPK. Andry Thamrin yang pernah dikontrak World Bank sebagai staf ahli pasca kerusuhan Ambon dulu, menilai, akar permasalahan di Ambon harus diselesaikan setuntas-tuntasnya untuk mencegah konflik terulang. ada beberapa sebab. Yang pertama adanya korupsi, lalu penyerapan sumber daya di infrastruktur pemerintahan yang belum merata. Selain itu faktor kesenjangan ekonomi juga membuat emosi warga kadang cepat naik. Tahun 2004, sebanyak 23 raja di pulau Ambon menyatakan dukungannya terhadap pemberantasan korupsi di Maluku. Mereka juga meminta KPK datang ke Maluku guna menelusuri sejumlah kasus korupsi yang banyak melibatkan para pejabat, "KPK harus turun mengaudit sejumlah proyek bermasalah yang merugikan negara miliaran rupiah. Terutama dana bantuan pengungsi maupun dana darurat sipil yang hingga kini tak tahu digunakan untuk apa. Yang paling merasakan dampak konflik adalah kita para Raja dan masyarakat," kata Raja Waiyame Kecamatan Baguala, Kanes Amanupunjo, waktu itu. Menyikapi maraknya aksi dari berbagai elemen masyarakat soal korupsi di Maluku yang cukup memprihatinkan, Kajati Maluku, Efendi Harahap mengakui Maluku kini telah menjadi sarang korupsi. Banyaknya korupsi di Maluku mengakibatkan tingkat kemiskinan di Maluku tinggi. ”Banyak pejabat sudah telepon dan berusaha mendekati saya minta ketemu, tetapi tidak. Saya tidak seperti itu. Prinsip saya korupsi dituntaskan,” Lalai Membaca Pesan Gambaran tentang masalah korupsi di atas mungkun sama persis dengan wilayah lainnya. Namun khusus untuk daerah rawan konflik seperti di Maluku, pendekatannya harus khusus pula, semata-mata karena Ambon telah menjadi arena sumbu pendek, lantaran di wilayah ini pada satu dekade lalu telah menjadi arena saling serang bahkan saling bantai, entah untuk memenangkan apa. Penanganan ketimpangan sosial di arena “sumbu pendek” tidak bisa dengan upaya yang bertele-tele. Begitu ada temuan, langsung turun, sidik, tindak. Mengulur waktu dengan dalih apapun hanya akan memperpendek sumbu. Lambannya penanganan korupsi di Maluku hanyalah gambaran bahwa kita telah lalai “membaca pesan” yang disampaikan secara ekstrim melalui konflik 10 tahun silam. Kendati otiritas pemerintah bisa berdalih bahwa penyebab konflik waktu itu tidak tunggal, namun usai konflik, kita bahkan semakin tenggelam dalam praktik-praktik ketidak adilan sosial. Di situlah terjadi pemupukan potensi konflik baru, ibarat “menabung” bom waktu. Mestinya dengan sekali ledakan saja, mata kita langsung terbelalak untuk mencari dan menemukan penyebabnya, tapi toh terjadi lagi. Tidak ada yang bisa memastikan, setelah ledakan 11 September lalu, akan ada ledakan lagi atau tidak, tetapi fakta menunjukkan ada bom benaran yang ditemukan aparat keamanan di beberapa tempat dalam dua hari terakhir di Kota Ambon, serta maraknya Short Message Service (SMS) yang berbau provokatif beberapa hari belakangan ini. Semoga ini semua menjadi perhatian serius otoritas penegak hukum (KPK, BPK, Polisi, dan Kejaksaan) serta otoritas keamanan (Polisi, TNI dan insane intelijen) di negeri tercinta ini. Berikut sejumlah sumber yang bisa dijadikan referensi oleh Kompassianer :

http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7947&l=kpk-masih-kumpulkan-bukti-untuk-bongkar-sejumlah-dugaan-korupsi-di-maluku http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7534&l=dpd-demokrat-maluku-cium-dugaan-korupsi-pembangunan-mes http://www.suarapembaruan.com/home/kajati-akui-maluku-sarang-korupsi/5226 http://www.detiknews.com/read/2004/07/21/164217/179535/10/enam-kasus-korupsi-di-maluku-dilimpahkan-ke-kejaksaan?nd992203605 http://www.detiknews.com/read/2004/07/22/120048/180018/10/23-raja-pulau-ambon-minta-kpk-ke-maluku http://www.siwalimanews.com/post/sms_provokatif_diduga_upaya_alihkan_isu_korupsi http://www.fajar.co.id/read-20110922134909-kpk-bidik-korupsi-malut http://www.detiknews.com/read/2011/09/27/101900/1731118/10/polisi-temukan-bom-rakitan-keempat-di-ambon#queryString#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline