Lihat ke Halaman Asli

Main di Bio Fuel, Sekadar Jaim?

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_23066" align="alignleft" width="300" caption="Penambangan Batu Bara di Indonesia"][/caption]

Hi Kompasianers,udah baca Kompas Cetak, tanggal 6 November 2009, hal. 19 ? Itu lho di berita “Biodiesel di Tambang : Adaro dan Komatsu Pro Ramah Lingkungan ”…bila akan baca versi webnya, silahkan klik di sini.Alhamdulillah, …lho kenapa Roy bersyukur ? Ya, karena benar-benar hebat, berita itu memuat PT Adaro Energy Tbk, sebuah perusahaan pertambangan batu bara terbesar kedua di Republik ini akan memulai proyek biodiesel fuel di Maret tahun 2010.

Lho, bukannya Permen (peraturan menteri….bukan permen = gula gula) No. 032/2008 telah menetapkan kewajiban minimal penggunaan pemanfaatan biodiesel sejumlah 2,5 % sejak September 2008 pada penggunaan solar di Indonesia. La kok,Adaro akan mulai di tahun 2010 ? Apa Adaronggak “ketinggalan zaman”karenasebenarnya Adaro wajibmenggunakan biodieselsejak 2008 lalu ? No, Adaro tidak“ketinggalan kereta”, program Adaro cukup “dahsyat”…. nih Roy akan menceritakan di sub bab atau alinea berikut.

[caption id="attachment_23092" align="alignright" width="210" caption="Aktivitas PT Adaro di Tambang Batu bara Tutupan Tabalong di Kalsel (sumber Achmad Fauzie)"][/caption]

Berita Gembira 1 Seketaris Perusahan Adaro mengatakan perusahaannya akan memproduksi bahan bakar biodiesel dari tanaman jarak (Jatropha curcas) dan tanaman bahan baku biodiesel lainnya. Bukannya ini berita dahsyat yang full gembira, karena Roy selalu sesambat bahwa tanaman jarak sekarang jadi “jarak jauh” di Republik ini (bila kompasianer berkenan klik di sini dan di situ) Mereka akan bekerja sama dengan Komatsu, produsen alat berat dari Jepang (Mbak Rosiy tahu alat     berat?). Kata sekretaris United Tractor (UT), sebagai distributor Komatsu….mereka akan kerja bareng. Adaro akan menanam jatropha dan tanaman bahan baku lain pada areal reklamasinya, sedang Komatsu akan membangun pabrik bahan bakar biodiesel dengan kapasitas 1-2 ton per hari di areal konsesi tambang Adaro di Kabupaten Tanjung, Kalimantan Selatan. Demikian pula, Komatsu akan membangun laboratorium untuk menjamin kualitas produksi biodiesel. [caption id="attachment_23071" align="alignleft" width="210" caption="Truk Komatsu ex Jepang. Sarana Utama di Tambang Batu Bara"][/caption]

Targetdari proyek ini adalah mengoperasikan 100 unit truk Komatsu pada tahun 2012 di areal Adaro, dengan penggunaan 20 % biodiesel yang diblend dengan solar. Diperkirakan 8.000 ton biodiesel akan digunakan setiap tahun. Lebih lanjut Sara Loebis, Sekretaris UT mengemukakan penggunaan 8.000 ton biodiesel itu berkontribusi mengurangi 20.000 ton emisi CO2 atau kurang lebih setara dengan 10 persen emisi CO2 yang dihasilkan pabrik Komatsu di Jepang. Kompasianers pasti udah tahu….nih artinya fulus, doku, alias uang karenakemampuan pengurangan emisi CO2 ituberdampak perusahaan Adaro (dan Komatsu) akan mendapat uang dari CDM (apa itu CDM, seyogianya rekan kompasianers lain yang menerangkan ! Ditunggu lho ?)

Hebat kan ? Kompasianers sependapat ? Adaro akan “membuat” dua energi. Energi tak terbarukan yakni batu bara. Tetapi juga berbarengan ”menciptakan” energi terbarukan yakni biodiesel dari minyak jarak. Tak hanya itu, lahan-lahan gundul, gersang, marginal sebagai dampak penambangan akan “dipulihkan” menjadi perkebunan…namun tak sembarang kebun tapi “perkebunan energi” dengan kemampuan multi guna sebagai “penjaga” keseimbangan air, oksigen, dan kehidupan biologis.

[caption id="attachment_23094" align="alignright" width="210" caption="Tambang di Sangatta, Kalimantan. Tampak Tanah Digali untuk Mengambil Batu Bara."][/caption]

Berita Gembira nan was-was ? Roy biasanya “nyerang” bila ada proyek Jatropha dengan kata-kata…. “tidak masuk logika”, “proyek asbun”, “proyek sekadar jaim”, “proyek tifu-tifu”, dan lain-lain. Mengapa ? Ya, karena udah puluhan proyek jatropha di Republik ini (utamanya dengan kerja sama asing) yang hanya sekadar nama doang….tanpa kelanjutan (klik di sini) [caption id="attachment_23075" align="alignleft" width="210" caption="Polusi Udara dari Pembakaran Batu Bara di Salah Satu PLTD"][/caption]

Si perusahaan asing hanya jual image, “dagang citra” di dunia internasional bahwa Ia akrab lingkungan. Apalagi nih Adaro lho, maaf bukan buruk sangka alias suudzon. Adaro telah melubangi dan mengkeruk perut bumi (dengan pembalakan hutan) untuk mengambil batubara sejumlah 220 juta ton per tahun dengan 160 juta ton diantaranya untuk ekspor.Kita ketahui, pertambangan dinobatkan sebagai salah satu perusahaan penyebab kerusakan parah hutan tropika di Kalimantan, sebagai paru-paru dunia ? Ditambah lagi batu bara meski “murah dan melimpah”, namun tidak “kalah jahat” dibandingfossil oil terhadappenambahan emisi CO2, si penyebab bencana dunia (bagaimana komentar Bung Omri, pakar tambang kompasiana ?).

Pasti kompasianers masih ingat ? Kita juga membaca Kompas Cetak di April 2009 lalu yang memuat pernyataan pejabat teras Pertamina “sadar bahwa berbisnis dan menghasilkan produk tidak ramah lingkungan. Maka untuk mengimbangi dampak negatif fossil oil, Pertamina sedang membangun green energyplasma kebun jatropha kerja sama dengan ribuan petani dan mendirikan pabrik minyak jarak ter-integrated di Grobogan, Jawa Tengah”. Namun manakah hasil dana CSR Pertamina yang konon dana ratusan juta rupiah akan/telah diglontorkan ke Proyek Energi Hijau di Grobogan tsb ? Silahkan klik di sini untuk membaca berita berita di atas di web kompas.com.

Saran untuk Adaro Insya Allah, Adaro tidak seperti “contoh buruk” di atas atau di postingan saya yang lalu lalu.Wajarkah pernyataan Adaro? Roy berpendapat, Adaro bertindak pesimistis....amat berhati-hati, sehingga layak kita sampaikan salut. Mengapa layak diberi salut ? Ntar kita bahas.

Tengok kapasitas pabrik biodiesel 1-2 ton per hari (malah sesuaiajaran Kang Pep, bos kompasiana ...saya check dengan telpun ke Adaro dan dikatakan Kompas salah, sebenarnya hanya 1,2 ton /hari).Dengan kapasitas itu, hanya dibutuhkan areal Jatropha seluas tidak lebih dari ... hektar doang. Sengaja saya tidak menjabarkan angka hektar, namun apakah nggak terlalu “sempit” bagi perusahaan sekelas Adaro....meski hanya kebun orientasi ? (banyak lho, perusahaan lain di Indonesia mempunyai areal orientasi, kebun riset jatropha tapitanpa “masuk ke Kompas”).

Pabrik skala 1,2 ton/hari, hanyalah pilot plant. Apakah pilot plant ”sekecil” itu layak dibiayai oleh Komatsu, sebuah perusahaan Jepang yang beken ? Pendapat saya kok enak tenan Komatsu, nih terlalu ”murah”. Biaya terbesaradalah di tanaman, sehingga seharusnya Komatsu membiayai di bidang ini. Apalagi dibutuhkan penelitian intensif tentang jatropha (dan tanaman penghasil biodiesel lain). Mengapa Roy menyebut tanaman penghasil BBN khususnya biodiesel lain ? Why, warrom, kunaontidak monokultur jatropha ? Entar kita bahas.

Memang seyogianya Komatsu andil di R & D termasukdi plantation. Demikian juga, apakahharus ke biodiesel ? Saya berpendapat lebih murah dan efisien ke SJO aja, atau dengan kata lain ke PPO (pure plant oil). Dengan PPO dikombinasi converter, kita dapat menggunakan 100 % minyak nabati: sehingga lebih ”mengena” ke Program Energi Hijau untuk menekan emisi CO2 .

[caption id="attachment_23095" align="alignright" width="191" caption="Salah satu Benih Unggul Jatropha Indonesia"][/caption]

Berita Gembiraatau Sedih ? Saya tanggal 4 November 2009 lalu, mengikuti Lokakarya Nasional V Jarak Pagar yang dilaksanakan di Aula Jatropha, Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat di Malang, Jawa Timur. Pertemuan ini rutin dilaksanakan setiap tahun yang umumnya dihadiri para ahli, praktisi, stakeholders, dan pemerhati agribisnis jarak pagar dari hulu ke hilir yang meliputi peneliti, dosen dari perguruan tinggi, petani, pengusaha, pejabat pemerintah pusat dan daerah, serta pengambil kebijakan. Hadir pada lokakarya ini, yang merupakan tindak lanjut dari Nasional Summit 29 Oktober 2009, (klik di sini) sejumlah 125 peserta.

Saya setiap tahun berupaya menyajikan makalah untuk ”sekadar” sumbang saran (bukan saran sumbang lho) di lokakarya itu. Namun kali ini saya hanya mendampingi dik Reno (nih, Roy harus kaderisasi) yang menyampaikan makalah kami berjudul”Strategi Perbaikan Mutu Biodiesel Jarak Pagar Melalui Tanaman Transgenik Beroleat Tinggi”.

Ada sejumlah hal menarik dikemukakan di Lokakarya ini. Pertama, seorang rekan Prof dari suatu Pusat Penelitian melaporkan bahwa akan segera “masuk” ke Indonesia (melalui jalur “gelap”) benih jarak pagar ex China yang diprediksi mampu berproduktivitas tinggi. Benih itu, saat ini di tanam di Sabah. Aduh....kalah lagi Indonesia dibanding manca negara. Beberapa waktu lalu, kami para BBN Mania udah terkagum kagum melihat benih Ricinus (“sebangsa” jarak pagar) yang “diselundupkan” dari China dan di tanam di Kalimantan Tengah. Bayangkan, bila benih Ricinus ciptaan para pakar Indonesia hanya mampu berproduksi ± 2 ton/ha dan harus tiap 1-2 tahun ditanam ulang. Benih ex China ini mampu berproduksi 12 ton, dan hanya sekali tanam untuk umur 20 tahun.

Opo ora hebat ? padahal sebelumnya saya udah melongo melihat sorgum, salah satu “kuda hitam” bahan baku bioetanol (klik di sini) . Sorgum ini benih hibrida ex China, dan mampu berproduksi hampir 9 x lipat dibanding benih sorgum unggul ex Indonesia. Saya nggak tahu ....apakah kabar tentang benih ex China ini, berita gembira atau berita duka bagi Republik ini ? (bagaimana pendapat kompasianers ?)

[caption id="attachment_23098" align="alignleft" width="179" caption="Prof.Dr.Praptiningsih Gamawati Adinurani,MS (ojob-mantan pacarku) Sedang Bergaya di Peraga Jarak Pagar di Lokakarya V."][/caption]

Berita Gembira 2. Pada lokakarya tersebut muncul pularencana kerja usahawan Indonesia yang didukung oleh perusahaan Jepang. PT Alegria, sebuah perusahaan patungan, bermodal 60 % Jepang dan 40 % Indonesia akan mulai “bermain” di jarak pagar. Mereka merencanakan membuka perkebunan seluas 30.000 ha, dengan kebun inti 6.000 ha. Apabila telah mencapai 4.000 ha PT Alegria akan membangun pabrik biodiesel berkapasitas 1.000.000 liter per bulan. Di akhir 2008 lalu, mereka telah membangun kebun bibit seluas 25 ha di Pasuruan, Jawa Timur. PT Alegria menjalin pula kerja sama dengan PO (perusahaan otobis) Laksana Anda di Jatim untuk mensubtitusi solarnya dengan biodiesel ex minyak jarak.

Bravo, hebat.....di “berita gembira 1” dengan Komatsu si Jepang, dan di “berita gembira ke-2” dengan Japanese. Aduh, kok semua dengan orang asing ya ? Mana si pribumi “merah-putih”? Di hamparan jarak pagar di Grobogan (dimana Pertamina berjanji berkiprah)....kini muncul Waterland Asia Bio Ventures PT, sebuah perusahaan patungan Amrik dan Belanda. Semua “diborong” orang manca negara....termasuk Mbak Rosiy digaet Bule ? Manakah nasionalisme kita dalam berenergi hijau?

Pesan Roy Aduh, duh...narsis saya berpesan nih. Seperti di atas, saya katakan salut....karena PT Adaro tidak gegabah, Adaro akan mulai menanam tanaman jatropha dengan luas yang “kecil”. Saya saran bila berkenan menerima “pesanku”.... pada areal reklamasi di Adaro seyogianya ditanam berbagai tanaman penghasil BBN. Seperti diketahui, Allah memberi karunia Republik ini sejumlahpuluhanjenis tanaman penghasil biodiesel, bioetanol, dan juga biokerosin (klik di sini). Dengan multikultur ini akan dapat diamati, manakah tanaman penghasil BBN yang terbaik, terefisien, terproduktif khususnya di areal marginal di lahan reklamasi yang pasti kesuburannya rendah ?

Untuk rekan kompasianers, di postingan yang akan datang .....kita ngobrol tentang ini ya, about tanaman penghasil BBN di Indonesia. Kepada PT Alegria, saya juga salut atas kehati-hatian Anda. Seperti Anda rencanakan.....PT Alegria akan memulai dengan keluasan ± 50 ha. Apalagi nih, terus terang Anda “lebih berat” dibanding Adaro karena Anda berhadapan dengan puluhan, ratusan, bahkan suatu hari dengan ribuan petani penanam Jatropha. Cukup banyak “bad strories” tentang pembangunan kebun jarak pagar di Republik ini sejak tahun 2006. Jadikan kegagalan-kegalan tersebut sebagai teladan!

Janganlah ciptakan “museum-museum” BBN lagi di Republik ini ! Seperti kita ketahui, kita memiliki puluhan bahkan ratusan “pabrik minyak jarak” yang gres baru. Tapi tidak pernah beroperasi sejak dibangun.....dan kini hanyalah jadi “museum”. Kita memiliki ± 4 pabrik biodiesel berbahan baku kelapa yang juga mangkrak. Republik ini juga mempunyai 4-5 pabrik bioetanol skala UMKM berbahan baku aren, juga ubi kayu ...yang nyaris jadi besi tua,karena “tidak mampu” beroperasi.

Kuningan 21 Residence, 8 November 2009 SALAM ENERGI HIJAU, Berkah Dalem Gusti Roy Hendroko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline