Lihat ke Halaman Asli

Aduh….Jariku Melepuh Gara-gara 17 Juli 09 (Boom ?)

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photobucket

Nih kompasianers, saya ngetik postingan ini pakai 11 jari, alias pakai 2 jari aja. Jari tengah tangan kiri dan jari tengah tangan kanan. Ibu jari kiri saya dan telunjuk di tangan kiri melempuh....juga jari telunjuk kanan. Apa Roy, tanggal 17 Juli 2009 terkena serpihan bom Mega Kuningan?

Enggak ding, meski ”kost” saya dekat dengan Mega Kuningan, ahamdulilah saya aman dari bom. Jari saya melempuh karena MOSTI, apa itu mosti?...... ”Kost” saya hanya 10 menit jalan santai nembus gang kecil ..... udah sampai kawasan Mega Kuningan. Saya ”kost” dekat tanah tumpah darah Mas Iskandarjet, Admin Rumah Sehat tercinta ini (Udah kenal Mas Is kan? Itu yang ngajari kompasianers Tutorial Blog ).

Saya pilih lokasi ini karena ”kantor lama” saya di daerah yang juga tempat berkarya Mbak Novrita si pengungkap ”Sepatu Tanggulangin” dan ”mobil ngesot”. Kantor lama saya, itu lho ”gedung bundar” di perempatan lampu bang-jo di depan kompleks rumah menteri. Saya sejak 2002-2008, ngantor di situ, selantai (malah selama tahun 2007 jadi ”teman curhat cari informasi”) almarhum yang ”tertembak” dalam kasus pimpinan KPK.

Bila tahun 2003, saya mendengar langsung gelegar bom Marihot I ...merasakan lantai dan kaca bergetar dan melihat kepulan asap.....dari dinding kaca ruang kerja saya di lantai V; tapi Jumat tanggal 17 Juli 2009 saya cukup jauh dari Mega Kuningan. Saya udah jadi ”laskar tidak berguna” di ”gedung bundar” tersebut. Tapi ahamdulilah, saya masih ”bermanfaat” di ”gedung tiga menara” Thamrin No 51, Kav. 22, dan puji syukur ”berfungsi” sebagai pembantu di kegiatan energi utamanya BBN-Mania, antara lain di sejumlah LSM, Asosiasi, dan kampus di Bogor.

Kacau dan Strees Pagi 17 Juli 2009, saya stress karena jadwal kunjungan tamu dari ABI (Agro Biotechnology Institute-Malaysia) ”kacau”. Semula Bu Prof merencanakan menerima kunjungan beliau-beliau dari Institute under Kementrian Sains, Teknologi dan Inovasi, Malaysia (MOSTI) tersebut di Desa Mandiri Energi (DME) berbasis Jarak Pagar (Jatropha curcas ) di dekat pabrik Indocement-Holcim di Cibinong. Bu Prof ingin menunjukkan pertambangan akrab lingkungan yang dikelola oleh Indocement-Holcim. Bu Prof ingin memperlihatkan betapa ”cantik” bukit-bukit kapur -yang udah digusur sebagai bahan baku semen- dihijaukan dengan tanaman Jarak Pagar. Tak hanya hijau untuk menangkap karbon dioksida-menangkal global warning tetapi biji Jarak Pagar tersebut menjadi bahan bakar ”ramah lingkungan” untuk boiler Indocement-Holcim. Tak cukup hanya eco-friedly sebagai industriawan sehingga Indocement memperoleh CDM –apa CDM, Pak Agus Candra kompasianers dari Bandung layak menerangkan- tapi biji-biji (dan minyak mentah-CJO) Jarak Pagar dibagikan ke desa-desa sekitar pabrik sebagai suply bahan bakar DME. Mungkin kompasianers ingat di postingan , Way-Isem, kita pernah diskusi tentang DME.

Di DME, Bu Prof ingin memamerkan inovasi Indonesia berupa kompor-kompor low-tech berbasis jarak pagar yang akan menjadi penunjang kehidupan rumah tangga di pedesaan. Namun ternyata yang udah disiapkan berhari-hari, tiba-tiba mubazir di Kamis sore, 16 Juli 2009....entah karena apa? Sebagai tukang kompor –bukan ”ngompori alias manasi” lho - tentu saya stress dan kecewa (ingat ya kompasianers, kita pernah diskusi tentang kompor bioetanol ?). Saya juga kasihan kepada Mbak Windi dkk. yang udah pontang-panting membeli dan membagi bahan peragaan di rumah-rumah DME berupa sosis, nauget, telur, singkong, tahu, dan tempe (khususnya tempe, agar teman-teman jiran mengetahui bahwa itu ASLI Indon jadi jangan di-klaim). Foto Mbak eh...karena kemanten baru, sehingga layak dipanggil Ibu Windi terpampang di bawah judul postingan ini. Nih foto cantik Windi di tulisanku yang ke-2. Sebelumnya di halaman 34, 35, dan 36 buku ”Integrated Utilization of Jatropha curcas, Road to Energy Self Sufficient Villages” atau versi bahasa Indonesianya di buku ”Meraup Untung dari Jarak Pagar”, Penerbit AgroMedia Jakarta, 2007. Versi web, klik di sini.

[Tapi Allah Maha Pengatur nan Bijak, ternyata ”pembatalan” acara di Indocement-Holcim berdampak positif. Bukankah bila tetap berlangsung, Windi dkk. jadi “serba salah” karena Jumat pagi tersebut Indocement-Holcim berduka cita....Pak Timothy D. Mackay, Direktur Utama PT Holcim Indonesia meninggal dunia karena bom Mega Kuningan (yuk, kita panjatkan doa untuk arwahnya. Amin )]

Ahamdulilah Akhirnya ”pameran” kompor tetap dilakukan. Puji syukur, bagaimana pun saya ingin menyatakan ke beliau-beliau di negara jiran, betapa kreatifnya Indon ! (Saya menyatakan kata KREATIF tersebut karena ”terprovokasi” postingan datuk Nazriyahya kompasianers dari Malaysia (?), dan tanggapan rekan Andreas tanggal 16 dan 17 Juli 2009 tentang diskusi membandingkan Petronas dan Pertamina. Mosok, kita terus-terus kalah dibanding Malaysia ? Pertamina kalah, Maybank lebih jaya,....juga MU main 2 kali di KL, padahal batal di Jakarta. Bahkan juga sawit Indon kalah dibanding Malaysia di postingan tanggal 10 Juli 2009

Bu Prof memutuskan peragaan kompor dilaksanakan di kampus....namun waktu tanda tanya, karena menyesuaikan dengan kesibukan Pak Rektor dan acara ABI-MOSTI di BPPT Jakarta? Tempat di depan green house agar tidak sesak nafas. Padahal saya udah menerangkan ke Bu Prof, kalau api kompor jarak ini biru cantik. Tidak merah yang berasap, jelek karena berjelaga hitam, dan menyebabkan sesak nafas (Nih bukan nyindir membandingkan warna kandidat Pilpres lho).

Akhirnya rombongan dari Serdang, Selangor, Malaysia ini datang jelang jam 14.00.....disertai bunyi nguik ,nguik, nguik dari Patwal Polantas. Mendengar nguik sirene maka guguplah saya untuk menghidupkan kompor. Apalagi angin bertiup kencang di depan green house. Saya katakan pada Windi...”angkat aja, pindah ke ruang”. Reflek, kompor saya angkat.... dan me-lempuh-lah jariku. Ternyata ini lempuh tahap ke-1.

Kompor berbasis jarak pagar memiliki kelemahan.....”sulit menyala”, butuh waktu karena tidak secepat kompor mintan, kompor bioetanol, atau kompor gas (bio seperti di Way Isem atau LPG). Diruang pamer, tampak api kompor meredup....karena panik maka saya kocor bara api di kompor tersebut dengan etanol. Tersambarlah tangan saya oleh api......dan melempuh tahap ke-2. Aduh,....sakit sekali!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline