Lihat ke Halaman Asli

Harga CPO Naik, Bagaimana Program Biodiesel?

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahamdulilah

Kompas, Jumat, 8 Mei 2009 memberitakan Pemerintah memutuskan harga jual minyak goreng merek Minyakkita  naik menjadi Rp 7.000 per liter. Langkah ini diambil karena harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) naik dari 350 dollar AS menjadi 700 dollar AS per ton. Ahamdulilah,   ucapan ini pasti akan berkumandang di para pemangku kepentingan persawitan Indonesia. Puji syukur karena masih teringat di benak kita, beberapa waktu lalu para petani sawit mengeluh  karena harga sawit  anjlog .

Saat itu Tandan Buah Segar (TBS)  amat murah  sehingga para petani sawit memilih tidak memanen karena biaya panen tidak impas. Idem dito para pengusaha sawit, meski mereka tergolong konglomerat tapi juga berkeluh-kesah tak henti-henti. Mereka mengeluh karena biaya produksi naik, misal  pupuk. Padahal pasar dunia menuntut harga CPO turun karena dunia mengalami resesi. Dampaknya pengusaha sawit terpaksa melakukan "gerakan penghematan", bahkan merumahkan sejumlah besar karyawan. Kini habis gelap terbitlah setitik terang. Semoga titik terang ini makin membesar, meski  booming harga sawit di tahun 2007 tidak mungkin tercapai.

Dampak negatif

Namun apakah kenaikan harga CPO tidak akan berdampak negatif pada bidang lain? Di saat harga TBS rendah, kita masih melihat dan mendengar bahwa pemerintah melakukan operasi pasar minyak goreng. Bagaimana bila harga CPO makin melonjak? Data selalu menunjukkan bahwa di saat harga CPO membumbung, para pengusaha CPO akan  berlomba ekspor. Pertanyaan lain, bagaimana pengaruh kenaikan CPO ini terhadap program biofuel Indonesia ?

Seperti kita ketahui Pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 032 tahun 2008, telah menetapkan mandatory, kewajiban minimal mencampur solar dengan biodiesel. Di tahun 2009, ditetapkan target sejumlah 1-2,5 % total solar Indonesia harus dicampur dengan biodiesel, dan selanjutnya meningkat menjadi 20 % di tahun 2025. Bicara tentang biodiesel di Indonesia, artinya bicara tentang POME (Palm Oil Metyl Esther) yang terbuat dari CPO dan turunannya. Data tahun 2008 menunjukkan Indonesia memiliki  11 pabrik biodiesel berkapasitas 1,5 juta KL/tahun. Berpijak pada mandatory, kapasitas tersebut di tahun 2009 akan ditingkatkan menjadi 2,5 juta Kl/tahun (bahkan Indonesia memiliki pabrik biodiesel  terbesar di dunia, berkapasitas 1 juta KL/tahun milik PT Wilmar di Riau).

Biodiesel digempur

Masih hangat di ingatan kita bahwa para pengusaha biodiesel mengalami dua kali "gempuran". Di tahun 2006-2007 - awal sosialisasi biofuel- mereka di "hantam" harga CPO yang tinggi. Mereka "merugi" meski masih bertahan untuk  menjual  ke Pertamina yang berpatokan harga MOPS. Gelombang "gempuran" ke-2 terjadi di tahun 2008, harga minyak bumi menukik rendah sehingga harga beli biodiesel -yang didasari harga MOPS- oleh Pertamina pun harus turun. Para pabrikan biodiesel "berteriak", mereka menurunkan pasokan biodiesel  ke Pertamina dengan dampak mandatory tidak tercapai.

Ahamdulilah, Pemerintah komitmen meski harus bertempur dengan Komisi VII DPR-RI. Dengan dasar UU nomor 30 tahun 2007 tentang energi dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 032 tahun 2008, para pabrikan "dijanjikan" subsidi BBN (katanya sih bulan Mei atau Juni 2009 akan direalisasi). Namun bagaimana nih,  bila harga CPO bergerak naik lagi? Apakah akan terjadi "gempuran" tahap ke-3? Industri biofuel Indonesia adalah "industri bayi", mereka membutuhkan perlindungan ! Atau biarkah CPO kita di ekspor ke manca negara, kemudian kita mengimpor biodiesel ? Kenapa kita membutuhkan  biofuel utamanya biodiesel ? Kok repot, kan kita cukup pakai solar doang untuk menggerakkan mobil dan pabrik!   Iya benar, tapi  solar kita mengandung "racun sulfur".  Dengan katagori sulfur £ 500 ppm sesuai standar Euro-2  (diacu berdasar SK Menteri LH No. 141, tahun 2003 dan "diterapkan" di Indonesia pada tahun 2005)  yang memenuhi "kriteria aman"  hanya 2 kilang dari 8 kilang Indonesia.

Komoditas Harapan

Meski terlambat saatnya kita mempersiapkan komoditas lain sebagai pendamping kelapa sawit. Pilihan bijak adalah komoditas yang bukan bahan pangan atau pakan (non edible oil) agar tidak saling bersaing. Tampaknya Jarak Pagar (Jatropha curcas L) patut dilirik. Produktivitas Jarak Pagar pada urutan ke-3 setelah kelapa sawit dan kelapa. Namun biodiesel kelapa (coco diesel) terlalu "mewah" sehingga mahal. Kelemahan lain, coco diesel mudah membeku

Disamping  non edible food,  Jarak Pagar adalah kandidat unggulan karena tumbuh dengan cepat, mampu tumbuh di lahan marginal dengan kebutuhan air dan pupuk relatif minimal, layak dikelola skala UKM, memiliki minyak dengan titik beku relatif rendah, memiliki angka setan lebih tinggi daripada solar, green house gas performace relatif tinggi, tidak mengandung  kadar sulfur, dan  mempunyai rentang daerah pertanaman relatif  lebih luas (300 LU, 350 LS) dibanding  kelapa sawit (40 LU, 80 LS)

Sayang, tanaman  jarak pagar sekarang menjadi "jarak jauh". Tanaman ini dijadikan komoditas politik, dibuat sebagai sarana "tebar pesona", bahkan dijadikan proyek untuk mencari uang dengan cepat. Fakta menunjukkan, EO atau penyelenggara seminar, pelatihan, dan workshop Jatropha  menangguk uang dengan cepat. Selanjutnya para penjual benih Jarak Pagar Asal-asalan memanen uang. Berperan pula para  pembuat  alat pemerah jarak pagar yang membuat alat asal jadi, yang kini  mangkrak -jumlahnya ratusan unit- di sejumlah kota  di Indonesia. Mengapa tidak ada action agar alat-alat ini tidak  jadi besi tua?

Teganya pula sejumlah "tipu-tipu" terjadi. Sebuah koperasi di Jawa Tengah mengumpulkan anggota dan menarik simpanan wajib. Konon katanya akan bermitra dengan perusahaan asing untuk mendirikan perkebunan jarak pagar. Namun akhirnya simpanan wajib sejumlah milyar rupiah tersebut raib. Tipu lain, sebuah perusahaan Inggris D1 Oil bekerja sama dengan sebuah LSM di Lampung menebar janji.  Jutaan pohon Jarak telah ditanam, namun janji hanyalah tinggal janji. Bulan Maret 2009 di World Islamic Economic Forum ke-5 di  Jakarta, Mother Earth Plantations (MEP) sebuah perusahaan Swiss -berkantor cabang di Singapura- menjanjikan investasi sebesar 100 juta dollar Amerika untuk membangun perkebunan Jatropha dan Pabrik Minyak Jarak di Nusa Tenggara Timur (NTT). Perkebunan tersebut akan mencapai 1 juta hektar, tahap pertama di tahun 2009 seluas 100 hektar. Disusul tahap-tahap berikut seluas 300.000 hektar per tahun.

Semoga  MEP berhasil agar Jarak Pagar tidak sekadar mimpi di sebuah seminar. Namun penulis meragukannya, apakah mungkin menanam seluas 100.000 hektar di tahun 2009,  tanpa persiapan matang. Penulis belum pernah mendengar kiprah MEP di bidang Jatropha, apakah mungkin tanpa R & D dan membangun kebun benih yang baik merealisasi 1 juta hektar tersebut? Investigasi menunjukkan MEP di Singapura adalah sebuah "shell company", sebuah perusahaan yang didirikan hanya dengan modal 1 dollar Singgapura. Kasihan NTT karena akronimnya akan tetap menjadi Neraka Terus-Terus atau Nasib Tak Tentu, tapi pasti akhirnya Nanti Tuhan Tolong !

Siapkah Jatropha ?

Harus diakui Jatropha belum siap untuk dikelola sebagai perkebunan besar ! Apalagi dibandingkan dengan perkebunan sawit. Namun membandingkan kelapa sawit dan Jatropha harus aple to aple. Kelapa sawit telah diteliti dan dikembangkan di Indonesia tidak kurang dari 30 tahun, padahal jatropha dilirik baru 2-3 tahun lalu. Sampai hari penelitian sawit masih berlangsung dengan dana dan dukungan pemerintah maupun swasta. Coba tengok kegiatan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Lihat pula apa yang dilakukan oleh  para periset perkebunan besar swasta misal Wilmar, Sampoerna, London Sumatera, Astra, dan  Sinar Mas. Bahkan Kompas 7 Mei 2009 menulis, Pemerintah akan segera membangun Lembaga Penelitian Besar Kelapa Sawit dengan alokasi dana awal sebesar Rp 3 milyar per tahun.

Jatropha disebut "tanaman primitif". Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan produktivitasnya dan memperoleh teknis budi daya  yang efisien. Namun mengapa rapeseed yang produktivitasnya lebih rendah, mampu dikelola sebagai bahan baku biodiesel di Eropa? Hal yang sama dengan kedelai di Amerika Serikat ? Jawabnya adalah diperlukan dukungan dan komitmen Pemerintah.

Semoga Pemerintah  tidak hanya "mengelus-elus" dan memberi kasih sayang pada kelapa sawit doang !

SALAM ENERGI HIJAU




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline