Lihat ke Halaman Asli

Catatan Perjalanan Barabai - Puruk Cahu

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hai, apa kabar sob...
Bagi yang suka travelling, nih ada sedikit catatan tentang perjalanan saya seminggu yang lalu ke Puruk Cahu Kalteng, tanggal 20 Juli 2013 bertepatan dengan 11 Ramadhan 1434 Hijriah.
Happy reading, nice to me if you leave any comment. Salam traveller...

::-::Catatan Perjalanan Barabai – Puruk Cahu::-::

Hari masih gelap jalanan pun masih sepi. Matahari belum menampakkan sinarnya, masih terlihat bintang di langit pertanda cuaca akan cerah di siang hari, pas sekali bagi yang hendak bepergian jauh. Ya, waktu masih sangat pagi ketika saya berangkat dari Barabai. Jalanan pun masih sepi, hanya berbagi jalan dengan para pedagang sayur yang akan mengambil dagangan ke “Pasar Sayur Murakata” atau penduduk setempat menyebutnya “Pasar Subuh Barabai”. 

Ibukota kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kota Barabai, menjadi salah satu sentra sayur mayur di Banua Enam yang mencakup enam kabupaten di wilayah utara Kalsel. Bermacam sayuran terkumpul di sini dari desa-desa di kecamatan, kemudian didistribusikan ke kota kabupaten terdekat bahkan sampai ke Kaltim dan Kalteng. Sepupu saya yang orang Barabai berwirausaha di bidang ini, biasanya mengirim sayuran ke Grogot, Balikpapan, Samarinda, juga Palangkaraya. Tepat kiranya pemerintah setempat sudah membangun pasar khusus sayur terbesar di utara Kalsel ini.

Selepas Barabai, kota yang saya lewati adalah Paringin (kab. Balangan), Tanjung (kab. Tabalong), kemudian Kelua yang merupakan kota kecamatan di wilayah selatan kab. Tabalong. Jarak yang ditempuh dari Barabai ke Kelua sekitar 100 km dengan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Di Kelua, saya singgah untuk memperbaiki motor yang bermasalah di sebuah bengkel tidak jauh dari pasar Kelua. Lumayan lama, tiga jam bro, sebentar duduk sebentar berdiri hanya menunggu disertai haus serta perut yang lapar membuat mata mengantuk. Biar begitu saya tetap semangat untuk berpuasa sampai tuntas di hari kesebelas bulan Ramadhan ini.

Dari Kelua saya meneruskan perjalanan ke arah barat. Kurang dari setengah jam perjalanan masuklah di kota Tamiang Layang, yang berjarak sekitar 25 km dari Kelua Kalsel. Tamiyang Layang yang merupakan pemekaran dari kab. Barito Selatan ini, sekarang menjadi ibukota dari kab. Barito Timur Kalteng. Kesan rapi dan bersih ketika memasuki kota ini. Bangunan toko, rumah penduduk, dan kantor pemerintahan berjejer apik di sepanjang jalan utama yang bebas dari sampah. Saya pun terus saja melewati kota ini, tidak singgah karena perjalanan masih sangat jauh.

Kota berikutnya adalah Ampah dengan jarak tempuh dari Tamiang Layang sekitar 45 km. Masih termasuk di wilayah kab. Barito Timur, Ampah adalah ibukota kecamatan Dusun Tengah, yang merupakan kota transit di wilayah Barito Kalteng. Posisinya yang strategis terletak di antara tiga kabupaten, Barito Timur (Bartim), Barito Selatan (Barsel), dan Barito Utara (Barut). Meski hanya kota kecamatan, lalu lintas di Ampah terlihat lebih ramai dibandingkan dengan Tamiang Layang yang merupakan kota kabupaten. Kota ini menjadi persinggahan utama bis, taxi travel, mobil pribadi dan pengendara sepeda motor. Anda akan mendapati tiga rute tujuan perjalanan utama di simpang tiga Ampah. Ke arah timur menuju Tamiyang Layang, Kalsel dan Kaltim. Kalau ke selatan menuju Buntok dan Palangkaraya. Sedangkan ke utara Anda akan menuju Muara Teweh dan Puruk Cahu.

Saya tiba di Ampah tepat masuk waktu zuhur. Terdengar suara azan dari mesjid setempat, saya pun singgah untuk sholat sekaligus beristirahat sejenak. Mesjid yang bernama Sabilal Mujahidin ini terletak di pinggir jalan sebelah kiri jika kita datang dari arah Kalsel, setelah melewati jembatan, dan pasar Ampah yang juga di sebelah kiri jalan. Tidak berlama-lama singgah, selesai sholat saya pun siap-siap meneruskan perjalanan. Di simpang tiga Ampah, mengambil jalur ke arah kanan menuju Muara Teweh.

Jalur Ampah – Muara Teweh menjadi jalur terpanjang dari total jarak perjalanan ini. Dengan jarak kurang lebih 135 km dari Ampah – Muara Teweh, di kanan kiri jalan didominasi oleh hutan lebat, diselingi kebun karet dan sawit yang masih usia muda. Di jalur ini hanya ada dua desa/kelurahan yang memiliki pemukiman penduduk cukup banyak, yakni Patas dan Kandui. Patas adalah pusat kecamatan Gunung Bintang Awai kabupaten Barito Selatan, sekitar 30 km dari Ampah. Ketika melewati desa ini, saya melihat aktivitas ekonomi yang cukup ramai di sepanjang jalan. Ya, hari itu adalah hari pasar di desa Patas yang digelar setiap Sabtu. Saya pun melambatkan laju kendaraan hitung-hitung menikmati suasana walaupun sekilas sambil lewat saja.

Setelah cukup lelah sekitar dua jam berkendara dari Ampah, akhirnya saya singgah di desa Kandui. Desa yang merupakan pusat kecamatan Gunung Timang ini sudah termasuk ke dalam kabupaten Barito Utara, dan bisa dikatakan sebagai pintu gerbangnya kabupaten Barito Utara. Berjarak sekitar 40 km dari Patas atau 70 km dari Ampah, sampai di Kandui berarti sudah separuh perjalanan antara Ampah – Muara Teweh. Saya beristirahat sekitar setengah jam di sebuah mesjid yang bernama mesjid Istiqamah. Jika dari Ampah, setelah lapangan bola yang cukup luas di sebelah kanan, mesjid ini terletak di sebelah kiri jalan berseberangan dengan kantor kecamatan. Setelah mencuci muka saya pun melanjutkan perjalanan. Hari sudah menunjukkan pukul tiga dan matahari masih bersinar dengan garang, perjalanan yang cukup cukup menguras tenaga. Saya sarankan bagi sobat traveler agar mempersiapkan fisik yang fit untuk bepergian jauh terutama kalau naik motor seperti saya ini. 

“Ayo, ayo, ayo... sudah jam tiga nih”. Saya memutar gas dengan keras, bernafsu untuk cepat sampai di Muara Teweh, karena setelah itu perjalanan masih sangat jauh menuju Puruk Cahu. Setelah melewati pintu gerbang “Selamat Datang di Kota Muara Teweh”, beberapa kilometer setelahnya ada SPBU yang terletak di sebelah kanan jalan, saya singgah sebentar untuk mengisi tangki bensin yang hampir kosong. Melewati jembatan kebanggaan warga Mute, terlihat kapal penumpang, perahu motor, dan speed bersandar di pelabuhan lama. Pelabuhan ini adalah salah satu alternatif transportasi menuju kota-kota kecamatan di hulu sungai Barito, menyuguhkan suasana perjalanan dengan pemandangan natural pesisir sungai. 
Saya sampai di pusat kota Muara Teweh pas masuk waktu Ashar. Singgah di sebuah langgar (mushola) dekat pasar, tidak lama, hanya untuk menunaikan salat Ashar. Kemudian melanjutkan perjalanan kembali menuju kota tujuan terakhir, Puruk Cahu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline