Di bilik kelas ini, semuanya serba putih. Tak boleh ada warna kain yang berbeda. Sejak kecil kami diajarkan bahwa seragam itu adalah indah dan baik. Kain putih yang kami kenakan bekerja seperti selubung.
Entah itu menyelubungi hal yang berada di kepala ataupun di badan. Jika saja kami berani menanggalkan kain itu, maka segala kutukan keburukan dunia akan datang kepada kami.
Para penghulu kami mengatakan bahwa kain putih itu mampu membuat paras menjadi lebih cantik. Insan mana yang tak ingin terlihat cantik? Ucapnya.
Yang lain mengatakan bahwa kain putih itu tanda bagi orang-orang yang suci, bersih hati dan pikirannya. Kami pun bingung bagaimana mengukur isi hati seseorang hanya dengan melihat kain apa yang ia kenakan.
Sejak berabad lalu, kami selalu diajarkan bahwa mendengarkan memiliki keutamaan dibanding berbicara. Diam dan mendengar adalah emas. Pendapat kami seolah tak penting jika sudah berhadapan dengan para penghulu.
Bahkan dalam perkataan yang lain, kami memang diciptakan hanya sebagai ornamen bagi kehidupan. Tak ubahnya taplak meja yang membuat meja terlihat lebih indah. Bersuara dan berbeda pendapat secara lantang adalah tabu bagi kami.
Kepada kami, Maya dan Sinta bercerita kalau memakai kain putih itu membuat mereka tak nyaman. Mereka berniat menanggalkannya. Kami pun segera mengingatkan bahwa tindakan mereka itu berbahaya.
Jangan. Maya tak mendengarkan. Sinta masih berusaha mengumpulkan keberanian. Maya adalah pengibar bendera dalam kesatuan paskibra, sedang Sinta adalah anggota organisasi keagamaan di sekolah.
Di suatu siang yang dingin, Maya terlihat tak lagi mengenakan kain putih itu. Keberaniannya mengalahkan semua bentuk kesemuan yang ada di bilik kelas.
Seluruh kewanitaannya terejawantahkan dengan jelas. Kami terpana. Tak pernah sebelumnya melihat paras sejujur dan secantik itu. Tetapi, ada ruang kosong yang kami rasakan bersama. Di mana kehadiran Sinta?
Belum juga terisi ruang kosong itu, penghulu kami telah menjejakkan kaki ke dalam bilik kelas. Suhu udara yang tadinya dingin, sekarang mulai terasa meninggi. Seolah angin kemarau kini menembus pori-pori dinding bilik kelas.