Mengapa sebuah bisnis bisa gagal? Sebuah pertanyaan menggelitik yang menarik untuk kita ulas bersama. Mungkin diantara kalian akan memberikan jawaban yang beragam terkait hal ini, mulai dari buruknya kualitas produk, strategi harga yang salah, distribusi yang bermasalah hingga metode promosi yang tidak efektif.
Tidak ada yang salah dari semua jawaban diatas, semua kembali pada case yang dijadikan contoh. Tetapi kadang kecenderungan kita kurang memberi perhatian pada satu aspek penting dimana di dalam proses kehidupan pasti terjadi perubahan. Bisa jadi kegagalan sebuah bisnis karena kita tidak dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada.
Perubahan dalam dunia bisnis adalah segala peristiwa yang terjadi di dalam lingkungan dimana suatu perusahaan beroperasi. Perubahan itu sendiri dipicu oleh faktor politik, ekonomi, sosial, teknologi, hukum, dan lingkungan hidup. Dinamika yang terjadi pada faktor-faktor tersebut pastinya akan berdampak pula terhadap pasar. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat bersifat evolutif ataupun revolutif dengan bobot dan dampak yang beragam.
Salah satu contoh sederhana dinamika pasar adalah perubahan perilaku konsumen pada saat mengucapkan selamat hari raya keagamaan. Dahulu sebelum penetrasi handphone/smartphone yang begitu masif seperti sekarang, masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bertukar ucapan hari raya melalui kartu yang dikirim via pos. Sehingga jauh-jauh hari sebelum hari spesial itu dirayakan, kartu ucapan tersebut sudah dikirimkan. Tetapi sekarang dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi, kebiasaan tersebut telah berubah menjadi saling bertukar SMS, BBM, WA, Facebook, atau melalui media sosial lainnya.
Dinamika pasar yang terjadi mau tidak mau harus dipahami dan disikapi oleh perusahaan dengan cara menyelaraskan dan merumuskan ulang strategi bisnis mereka. Hal ini penting dilakukan agar perusahaan tetap bertahan dan bisa meraih keunggulan pasar. Perusahaan yang anti perubahan dipastikan akan mengalami keterpurukan hingga kematian. Layaknya dinosaurus yang punah karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan hidupnya.
Perkembangan teknologi informasi yang cukup luas di Indonesia (khususnya area perkotaan) mendorong lahirnya taksi online. Fenomena tersebut menjadi ancaman yang sangat serius bagi pelaku bisnis taksi offline karena mereka lengah dan gagal dalam memahami dinamika pasar yang dipicu oleh faktor perkembangan teknologi. Seandainya saja para pengusaha taksi offline sejak dini mampu mengembangkan bisnis berbasis online, maka konflik sosial yang muncul saat ini tidak perlu terjadi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan perusahaan dalam menyikapi dinamika pasar adalah dengan melakukan repositioning. Repositioning adalah suatu aktifitas mengevaluasi dan mengubah makna (persepsi) suatu merek atau produk di benak konsumen. Artinya strategi ini mencoba mengganti posisi yang sebelumnya "tidak mengena" di mata konsumen menjadi "cocok atau sesuai" dengan kebutuhan dan keinginannya.
Dinamika pasar yang terjadi memunculkan beberapa faktor yang mendorong perusahaan untuk melakukan repositioning. Yang pertama adalah dinamika pasar membuat positioning brand yang ada saat ini sudah tidak lagi relevan dan berkurang maknanya bagi konsumen. Hal ini disebabkan karena positioning brand yang diciptakan sebelumnya terlalu sempit. Sehingga sangat membatasi strategi pengembangan brand untuk memperluas portofolio bisnis perusahaan di masa pendatang.
Contohnya adalah positioning merek Sanyo yang sangat kuat di benak konsumen sebagai merek pompa air. Bila saja Sanyo ingin mengembangkan mereknya untuk masuk ke kategori selain pompa air, maka perlu dilakukan repositioning untuk memperluas makna brand Sanyo di benak konsumen.
Sedangkan faktor kedua yang memicu perlunya upaya repositioning adalah adanya perubahan targetmarket akibat dinamika pasar. Kisah repositioning Marlboro merupakan salah satu contoh mengenai retargeting yang dilakukan oleh Phillip Moris untuk memperbesar target marketnya sehingga berimplikasi terhadap perlunya dilakukan repositioning. Siapa yang menyangka rokok yang dilambangkan sangat laki, jantan dan macho ini ternyata dulunya adalah rokok untuk perempuan. Dengan menggunakan koboi dan kuda sebagai simbol lelaki, Marlboro mencoba menghilangkan kesan wanita yang terlanjur sudah melekat di benak konsumen kala itu.
Menyikapi dinamika pasar dengan upaya repositioning memang bisa menjadi strategi yang tepat bagi perusahaan. Di Indonesia, penerapan ini telah dilakukan dengan baik oleh Fatigon. Awalnya produk ini diposisikan sebagai multivitamin untuk menjaga kesehatan tubuh. Namun positioning ini tidak berhasil mendongkrak penjualan karena banyak produk multivitamin sejenis yang menawarkan manfaat yang sama.