"Ini besok loh, Pa." Sebuah pesan singkat dikirimkan oleh Elfrita Santy kepada saya mengiringi sebuah pesan terusan tentang pemberitahuan batas akhir pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk bulan Juli 2022 bagi buah hati kami yang akan mengenyam pendidikan formal pada jenjang Taman Kanak-Kanak (TK).
Saat menerima pesan tersebut, saya hanya membalas dengan stiker anak kecil memberikan jempol tangannya, disertai dengan pesan singkat bernada bercanda: "Iya, Miss." Sembari dalam hati saya berkata: "Memangnya mau dibayar pakai apa, isi rekening ludes semua, isi dompet pun hanya tinggal lima puluh ribu."
Kondisi keuangan seperti demikian benar-benar kami alami sehari (12/7/2022) sebelum buah hati melalui hari pertamanya (13/7/2022) dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang dilaksanakan secara luring selama tiga hari---Dana Pengembangan Sekolah (DPS) telah selesai kami bayar sesaat setelah melakukan pendaftaran sejak setahun sebelumnya, termasuk biaya seragam, perlengkapan dan biaya admin telah kami bayar sesuai waktu yang telah ditentukan, hanya SPP yang belum kami bayar, karena kala itu belum waktunya untuk melakukan pembayaran.
Semua ini terjadi bukan karena kecerobohan dalam pengelolaan keuangan, kami pribadi meyakini (menurut kami) bahwa kami telah melakukan manajemen keuangan dengan sangat baik setiap bulannya, kami pun selalu menyediakan dana darurat dalam rumah tangga kami, namun dana darurat yang kami miliki telah terpakai seminggu sebelumnya (5/7/2022) untuk kebutuhan tak terduga yang mendesak, termasuk dana untuk pembayaran SPP yang telah disiapkan sebelumnya pun ikut terpakai.
Selain dana darurat, kami memang tidak pernah menyimpan uang yang tidak digunakan dalam bentuk uang tunai---meski kami menyadari bahwa cash is the king---karena kami lebih memilih meletakan uang dingin yang kami miliki ke dalam salah satu instrumen investasi, dan uang dingin yang telah kami investasikan tersebut saat ini sedang mengalami penurunan nilai, tentu sangat disayangkan apabila harus kami paksa untuk jual rugi supaya bisa melakukan pembayaran SPP.
Mencari pinjaman uang pun tentu akan kami hindari, apalagi bila harus menggadaikan cincin pernikahan, tentu sama sekali tak pernah terpikirkan, karena kami tak ingin menggadaikan cinta kami, wkwkwk. Harapan satu-satunya yang kami miliki untuk bisa membayar SPP tanpa harus mengalami keterlambatan, hanya berasal dari honorarium saya sebagai narasumber dalam sebuah Bimbingan Teknis yang diselenggarakan bertepatan waktunya dengan hari pertama buah hati kami menginjakan kaki di sekolah untuk mengikuti MPLS (13/7/2022).
Bagian yang mendramatiskan terletak pada latar belakang saya menjadi narasumber, keterlibatan saya sebagai narasumber sebenarnya saya sendiri telah menghindarinya, terbukti saat permohonan sebagai narasumber dengan kuota 1 (satu) orang ditujukan kepada organisasi yang saya melayani di dalamnya, saya atas persetujuan Ketua telah mengirimkan satu nama pengurus yang berlatar belakang akademisi sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya untuk membawakan materi yang telah ditentukan oleh penyelenggara.
Namun, pada saat yang bersamaan (30/6/2022), permohonan narasumber dengan kuota 5 (lima) orang ditujukan kepada salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Surabaya, dan ternyata nama saya dimunculkan oleh seorang rekan yang berwenang di lembaga tersebut sebagai salah satu narasumber untuk membawakan salah satu materi yang sesuai dengan kompetensi yang saya tekuni selama ini---saya mendapatkan informasi tersebut via pesan singkat yang dikirimkan oleh seorang rekan, setelah yang bersangkutan mengirimkan nama saya kepada penyelenggara.
Hingga empat hari kemudian (4/7/2022), surat resmi dari penyelenggara yang berisikan daftar nama narasumber pun tersampaikan, dan motivasi saya saat menerima penunjukan sebagai narasumber tersebut sama sekali tak ada motif ekonomi di dalamnya---selain karena kala itu dana darurat masih berlimpah, kebutuhan untuk pembayaran SPP pun telah tersedia.
Satu-satunya motif yang saya miliki saat menerima penunjukan sebagai narasumber masih tetap konsisten seperti sebelumnya yakni saat kesempatan hadir untuk berbicara tentang olahraga disabilitas, maka saat itu kesempatan hadir untuk menumbuhkan respect atau rasa hormat dalam diri masyarakat luas (audiens) bagi kaum disabilitas.