Tak mudah melepaskan bingkai tradisi yang sudah menyatu dalam kehidupan, saat orang lain yang mengalami ditinggal pergi oleh seseorang, mungkin dengan mudah kita dapat menggurui bahwa kehidupan antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup telah terpisah, sehingga tak ada hubungan lagi antara satu dengan yang lain (kontak satu sama lain).
Namun, saat kita sendiri yang mengalami ditinggal pergi oleh seseorang yang sangat kita cintai, mungkin kita akan berharap arwahnya dapat menyapa kita dalam rentang waktu empat puluh hari sejak hari kematian, karena dalam tradisi Jawa dan dalam banyak tradisi lain meyakini bahwa arwah dari seseorang yang telah meninggal dalam kurun waktu tersebut masih berada di sekitar orang-orang terdekatnya (berada di dalam rumah, dll.).
Perasaan seperti inilah yang saya rasakan selama empat puluh hari sejak kepergian Papa menuju keabadian (2/12/2019), setiap saat saya menantikan arwah Papa menyapa saya, minimal akan disapa melalui mimpi saat saya sedang tidur---bermimpi merupakan sesuatu yang langka untuk bisa saya alami, karena pengaruh dari kelelahan dan durasi tidur yang singkat, sehingga selalu tertidur pulas.
Meski sebenarnya setelah tiga hari kepergian Papa, untuk pertama kalinya ada kupu-kupu---kupu-kupu dalam tradisi Jawa menandakan akan datang tamu, dalam konteks kematian menandakan ada arwah yang datang---masuk ke dalam kamar kami yang tertutup rapat karena berpendingin udara (setelah kami perhatikan dari mana datangnya kupu-kupu itu, ternyata daun jendela kami yang berada di balik gorden sedikit terbuka), kupu-kupu dengan jenis serupa ini muncul beberapa kali pula dalam berbagai kesempatan, selain itu buah hati kami pun beberapa kali tampak berbincang dan bermain sendiri seolah sedang bersama dengan Opanya, tetapi saya masih belum merasakan disapa secara pribadi oleh arwah Papa.
Hingga tepat sebulan (2/1/2020) setelah kepergian Papa, saat menjelang subuh, saya terbangun oleh suara pin boling (mainan milik buah hati kami) yang menggelinding di lantai dapur---saya telah mencoba menggelindingkan pin boling ini dengan kekuatan yang mungkin dimiliki oleh kecoak atau cecak, untuk memperkirakan apakah dua hewan itu yang menyebabkan pin boling menggelinding, dan sepertinya dua hewan itu terlalu lemah untuk bisa menggelindingkannya, kemungkinan yang bisa menggelindingkan hanya tikus, tetapi bisa kami pastikan tidak ada tikus di dalam rumah kami, karena setiap lubang yang memungkinkan untuk tikus bisa masuk telah kami tutup rapat.
Tak lama setelahnya, istri pun menyusul saya bangun, dan menghampiri saya yang sedang mempersiapkan diri untuk hari pertama masuk kerja setelah melewati libur tahun baru. Istri saya mengawali harinya dengan menceritakan mimpi tentang Papa yang baru saja diawalinya, saya mendengarkan dengan saksama, tanpa menceritakan lebih dulu tentang suara pin boling yang menggelinding.
Dalam mimpi itu, Papa terlihat berada di tepian sungai sedang membantu mencari korban banjir, dan di sekitar Papa terdapat beberapa orang dari keluarga korban yang sedang menangis, saat istri saya berusaha mendekati Papa, Papa melarang dari kejauhan sembari berkata: "Jangan ke sini, kamu di situ aja, Opa lagi (bantu) cari orang."
Usai istri saya menceritakan mimpinya, saya pun berganti menceritakan tentang pin boling yang menggelinding---bersamaan dengan kesempatan saya menceritakan inilah, saya sembari menguji menggelindingkan pin boling. Dengan penuh kelegaan, meski masih menjadi misteri, kala itu saya menyimpulkan bahwa pin boling yang menggelinding tadi merupakan sapaan dari arwah Papa seperti yang saya harapkan, dan sapaan dari arwah Papa itu pun terkonfirmasi melalui mimpi istri saya. Kami berdua telah disapa oleh arwah Papa melalui cara yang berbeda, tetapi saling melengkapi.
Misteri selanjutnya tak berhenti sampai di situ, mimpi yang istri saya alami seolah mengonfirmasi pula peristiwa yang terjadi selama bulan Desember 2019. Sejak kepergian Papa menuju keabadian (2/12/2019), sebanyak tiga orang (dua laki-laki dan satu perempuan) yang berada dalam satu gang di rumah Papa, secara bergantian menyusul Papa pergi menuju keabadian.
Orang pertama yang menyusul Papa, letak rumahnya terpisahkan lima rumah yang berseberangan ke arah kiri dari rumah Papa. Kemudian orang kedua yang menyusul Papa, letak rumahnya terpisahkan dua rumah di samping kanan dari rumah Papa. Orang pertama dan kedua ini merupakan bapak-bapak yang telah lama sakit, sempat pula dirawat inap di rumah sakit, tetapi pada saat meninggal telah dirawat jalan di rumahnya masing-masing.
Selanjutnya orang ketiga yang menyusul Papa, letak rumahnya terpisahkan tiga rumah di samping kiri dari rumah Papa---sebenarnya ada satu orang lagi sebelum orang yang ketiga ini (jadi totalnya ada empat orang yang menyusul Papa), seorang bapak yang meninggal karena sakit di rumah anaknya, tetapi setelah meninggal dibawa pulang untuk disemayamkan, serta dimakamkan di tempat pemakaman dekat rumah Papa.