Lihat ke Halaman Asli

Torehan Terakhir

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, sebelum matahari muncul, seperti biasa ustadz Yusuf selalu menyampaikan ceramahnya, beliau selalu mengadakan kuliah subuh seusai shalat subuh berjamah. Aku yang baru 4 hari mengikuti kuliah subuh bersama ustadz Yusuf, merasa tertarik untuk mengikuti yang ke-5 kalinya. Aku begitu kagum dengan sosok ustadz Yusuf yang istiqamah dalam melakukan sesuatu, termasuk kuliah subuh di pagi itu, walau hanya sebagian yang hadir, beliau tetap disiplin menyampaikan materi-materinya. Aku duduk di barisan terdepan. Tempat dudukku, pas di depan ustadz Yusuf yang selalu tersenyum jika sedang menyampaikan materinya.

“ Adik-adiku sekalian, “

Begitulah cara ustadz Yusuf menyapa para jama’ah kuliah subuh sebelum menyampaikan materi kuliahnya, beliau memanggil yang hadir dengan panggilan ‘adik-adik’, karena para mustami’ masih berada jauh di bawah umur ustadz Yusuf. Setelah menebar senyum, ustadz Yusuf memulai ceramahnya, “ Rasulullah SAW bersabda : “ Wajib bagi kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu kita…” ucapnya dengan bibir tersungging senyum.

“ Berbuat baik pada kedua orang tua kita? “ Tanyaku dalam hati. Berbuat baik? Apakah tidak salah, selama aku mengenal bunda, bunda selalu bersikap acuh tak acuh terhadapku, sikapnya sangat berbeda ketika bunda sedang bersama dengan Rehana kakakku. Bunda sangat memanjakannya, kemanapun bunda pergi, pasti Rehana yang selalu dibawanya, tidak pernah aku. Apakah orang tua tidak wajib menyayangi dan mencintai anaknya, sehingga bunda pilih kasih, bunda lebih sayang pada kak Rehana, bunda lebih mencintainya, ketimbang padaku, dari pada Raisya putri bungsunya. Tiba-tiba pipiku terasa hangat, ada yang mengalir di pipiku, aku menangis.

“ Re, kenapa menangis? “ Tanya ustadz Yusuf yang langsung membuatku melonjak kaget. Aku melihat kesekelilingku, astaghfirullah, sudah sepi, teman-temanku sudah pulang semua, hanya tinggal aku sendirian. “ Re, kenapa kamu menangis? “ aku baru tersadar setelah ustadz Yusuf mengulang pertanyaannya padaku, buru-buru aku usap air mataku dengan mukena yang masih aku kenakan. “ Ustadz, “ ucapku kemudian. “ Dari wajahmu, ustadz dapat melihat kalau kamu sedang ada masalah, ada apa Re? ceritakanlah mungkin ustadz bisa membantumu, “ ustadz Yusuf duduk di sampingku “ Tidak ada apa-apa ko’ ustadz….” ucapku hambar, aku yakin segurat kesedihan tergambar jelas diwajahku hingga pastinya membuat ustadz Yusuf merasa iba. “ Re, sebenarnya sudah sering ustadz melihatmu menangis, ustadz pikir, kamu hanya bertengkar dengan teman-temanmu yang lain, sehingga ustadz tidak begitu peduli padamu. Tapi hari ini, ustadz merasa lain, sepertinya air mata yang kamu alirkan itu, bukanlah air mata yang di sebabkan oleh sebuah pertengkaran, lebih dalam dan sakit dari itu. Benarkah Re? “ tanya ustadz Yusuf memandangku tajam. Air mataku kembali mengalir mendengar ucapan ustadz Yusuf.

“ Re, ceritakanlah pada ustadz masalah yang merundungmu itu! “ ujar ustadz Yusuf. Tapi tidak satupun kata yang aku ucapkan, hanya suara tangisku yang terdengar semakin nyaring “ Ustadz, “ ucapku setelah menarik nafas panjang.“ Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu? “ Tanyaku sambil mengusap air mataku. Walaupun setelah itu air mataku semakin tertumpah. “ Tentang apa Re, tanyakanlah…!” jawab ustadz Yusuf sambil mengangguk. “ Ustadz, berdosakah jika seorang anak tidak berbakti pada kedua orang tuanya?” Tanyaku kembali mengusap air mataku. “ Maksudmu? “ Tanya ustadz Yusuf mengerutkan keningnya. “Seorang anak, yang tidak berbakti ustadz, tidak pernah dekat dengan orang tuanya, tidak pernah memeluknya, tidak pernah mencium tangannya, tidak pernah mendo’akannya, tidak pernah menghapus air matanya, sedangkan ia menangis karena anaknya. Apakah seorang anak itu berdosa ustadz? Dan apakah anak itu durhaka? “ aku berbalik memandang ustadz Yusuf, aku melihat kerutan di keningnya.“ Itu sangat berdosa Re, sembilan bulan ibu kita mengandung, dan tentunya pada malam-malam dan hari-hari itu, ibu kita tidak bisa diam dengan tenang, menahan sakit yang sangat. Setelah melahirkan, satu penderitaannya teratasi, kemudian beliau merawat dan mendidik bayi yang dilahirkannya itu, hingga menjadi gadis manis sepertimu Re, terus atas dasar apakah seorang anak tidak akan berbakti pada wanita pahlawan itu? “ jawab ustadz Yusuf antusias.

“ Ustadz, bagaimana jika seorang ibu yang berbuat demikian kepada anaknya? Dia tidak pernah dekat dengan anaknya, tidak pernah memeluknya, tidak pernah mencium tangannya, tidak pernah mendo’akannya, tidak pernah menghapus air matanya, sedangkan anak itu menangis karena ibunya. Apakah seorang ibu itu berdosa ustadz? Apakah ibu itu juga disebut ibu yang durhaka? “aku lihat ustadz Yusuf kaget dengan pertanyaanku kali ini.. “Ustadz kenapa diam? “ Tanyaku setelah menyaksikan kebisuan ustadz Yusuf. “Apakah hanya seorang anak yang berdosa jika berbuat hal seperti itu? Sedangkan seorang ibu jika melakukan hal itu tidak berdosa?” lanjutku semakin gila, aku menutupi wajahku dengan mukena yang telah basah oleh air mata. “Re, kenapa kamu bertanya seperti itu? “ Tanya ustadz Yusuf, “ Ustadz, ustadz belum menjawab pertanyaanku atau apa mungkin ustadz tidak mampu menjawab pertanyaanku? Kenapa ustadz? “ tangisku semakin menjadi, sebagian orang yang lewat di dekat surau dapat mendengar dengan jelas suara tangisku, dan pastinya mereka akan menoleh penuh keheranan.

“ Re, sebenarnya apa yang menimpamu? Karena yang ustadz tahu, tidak mungkin ada seorang ibu yang berbuat demikian pada anaknya sendiri. Mungkin kamu hanya salah persepsi gadis manis…” ujar ustadz Yusuf datar. “ Re, pulanglah sekarang ke rumahmu, ibumu pasti sedang bingung mencarimu, ini sudah siang, lagi pula kamu kan harus segera berangkat ke sekolah. “ lanjut ustadz Yusuf mengalihkan pembicaraan. “ Ustadz, aku tidak akan pernah pergi dari surau ini sebelum ustadz menjawab pertanyaanku“ teriakku keras kepala. “ Apa kamu tidak takut ibumu akan mencarimu, jika kamu terus keras kepala untuk tetap disini sampai mendapatkan jawaban itu Re, ? “ Tanya ustadz Yusuf. “ Bunda tidak akan pernah mencariku ustadz, walaupun aku tidak pulang sampai esok hari. “ jawabku, sambil mengusap air mataku yang semakin deras mengalir. “ Re, penderitaan apakah yang sedang datang menimpamu? Ceritakanlah, demi Allah ustadz tidak akan tahan melihat air matamu itu esok hari, ” ucap ustadz Yusuf mencoba menyelam dalam kegelisahan yang tersirat diwajahku.

“ Apa ustadz bisa membantuku, jika aku menceritakan penderitaan ini? “ Tanyaku berbinar, ada sebaris harapan yang tertuang dalam hatiku. “ Ceritakanlah Re, jika mampu, ustadz pasti akan membantumu, percayalah…..!! “ jawab ustadz Yusuf sambil sedikit menggeser tempat duduknya,

“ Ustadz, apakah ustadz percaya jika aku adalah korban dari keacuhan orang tuaku?“aku bertanya sekali lagi pada ustadz Yusuf yang terlihat tampak lebih terkejut dari sebelumnya. “ Korban keacuhan?, “ Tanya ustadz Yusuf ketika mendengar penuturanku. “ Ustadz, dari kecil hingga aku sebesar ini, aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari bunda…” ucapku mulai bercerita. Ustadz Yusuf hanya diam mendengarnya, ia menunggu lanjutan kata-kataku. “ Aku kehilangan ayah semenjak kecil, bahkan aku tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahku ustadz, bundapun merasa enggan untuk menceritakannya, jangankan meluangkan waktu untuk bercerita sedikit tentang ayah, untuk bersama denganku saja, bunda tidak pernah punya waktu. Waktu bunda hanya dihabiskan untuk selalu bersama Rehana kakakku, setiap hari aku hanya bersama dengan kesunyian ustadz.”

“ Aku merasa dianaktirikan, ketika kak Hana mendapat nilai bagus, bunda langsung membawanya jalan-jalan, dan langsung dibelikan segala apa yang kak Hana inginkan, hingga aku pikir, mungkin dengan mendapat nilai besar bunda bisa menyayangiku seperti bunda menyayangi kak Hana, akupun belajar dengan rajin, aku berusaha menggapai seperti yang kak Hana dapat. Dan akhirnya, aku berhasil meraih nilai terbesar ustadz, bahkan aku menjadi siswi teladan di sekolah. aku sena……ng sekali. Aku bawa kabar gembira itu pulang kerumah. Sesampainya di rumah aku langsung berlari kearah bunda yang kebetulan sedang tidak bersama kak Hana, ‘ bunda, Raisya dapat nilai bagus seperti kak Hana, bahkan Re jadi siswi teladan di sekolah….’ aku berteriak seperti itu ustadz, aku pikir, bunda akan langsung memeluk dan menciumku kemudian langsung membawaku jalan-jalan seperti yang dilakukannya ketika kak Hana mendapat nilai bagus. Tapi ternyata,……….” Aku menghentikan ceritaku. Air mata yang sudah membanjiri mukenaku masih saja terus mengalir.

“ Ternyata hayalanku hanya ada dalam duniaku ustadz, karena setelah aku selesai mengatakan kalau aku dapat nilai bagus seperti kak Hana bahkan menjadi siswi teladan, bunda hanya tersenyum sambil mengucapkan kata selamat, tangannya yang selalu memeluk kak Hana itu hanya bergerak dibagian kepala saja, bunda hanya mengusap kepalaku ustadz, setelah itu, beliau pergi dari hadapanku, menyusul kak Hana yang berteriak memanggil bunda. Keinginanku untuk dipeluk dan dicium bunda dan keinginan untuk dibawa jalan-jalan hanya sebatas keinginan saja, dan itu tidak akan pernah tercapai……..”

“ Huuuuuuuuu…………ikh, huhuuuuuu…..” tangisku semakin menjadi. mataku yang bengkak semakin kentara. Orang-orang yang lewat di depan surau menoleh penuh keheranan mendengar tangisanku. Ada sebagian dari mereka yang menoleh dan bertanya apa yang terjadi. Aku lihat, ustadz Yusuf juga mengalirkan air matanya. “ Mana mungkin gadis sekecil Raisya sudah mengalami penderitaan yang dapat dibayangkan tragisnya.”ucap ustadz Yusuf dalam tangisnya. Aku tidak henti menangis, air mataku semakin deras mengalir dari kedua mataku yang sudah sangat bengkak.

“ Re, ustadz sama sekali tidak menyangka kalau penderitaanmu setragis ini, maafkan ustadz Re, mungkin ustadz tidak terlalu peduli padamu. “ ucapnya kemudian sambil memeluk ku “ Re pulanglah, kembali kerumahmu, walaupun bundamu tidak pernah peduli padamu, kamu tetap wajib menghormati dan menaatinya. Percayalah bahwa Allah selalu bersamamu. Dan Allah selalu menyayangimu.“ ujar ustadz Yusuf sambil melepas pelukannya. Aku mengangguk sambil menghapus air mataku untuk yang kesekian kalinya. Kamudian melangkah dari hadapan ustadz Yusuf. Pulang tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibirku yang gemetar karena sesenggukan.

***

Aku beranjak dari surau meninggalkan ustadz Yusuf yang masih mengalirkan air matanya mendengar ceritaku tadi. Setiap orang yang berpapasan denganku, tidak satupun dari mereka yang sudi menyapaku dengan keadaan mata bengkak seperti ini, akupun juga tidak begitu peduli, tidak merasa takut dimarahi bunda jika bunda melihat mataku yang sangat bengkak ini. Sesampainya dirumah aku langsung melangkahkan kakiku kearah tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas. Dan kebetulan kamarku juga ada di lantai atas, tepat bersebelahan dengan kamar kak Hana, tapi walau begitu, sekalipun bunda tidak pernah masuk ke kamarku untuk mengucapkan selamat malam seperti yang selalu dilakukannya pada kak Hana setiap malam menjelang tidur.

“ Raisya….?? “

Aku terkejut setengah mati mendengar suara yang sebenarnya sangat aku rindukan selama ini. Aku kenal betul suara itu, suara yang nyaris tidak pernah menghampiriku, itu suara bunda. Ya, tidak salah lagi, itu suara bunda, wanita yang sangat aku harapkan kasih sayangnya. “ Re, sayang matamu kenapa nak?.....” Tanya bunda padaku. “ Sayang, ya Tuhan aku dipanggil sayang? Aku tidak percaya, benarkah yang aku dengar ini? Bunda memanggilku sayang, memanggilku nak? Bunda menanyakan kenapa mataku bengkak? “ ucapku dalam hati. kakiku yang sudah mencapai anak tangga paling bawah terasa gemetar mendengar kenyataan yang baru saja melintas di telingaku. “ Re, mata kamu kenapa sampai bengkak seperti ini? “ Tanya bunda lagi sambil berjalan menghampiriku yang berdiri dengan mulut membentuk huruf‘O’. aku hanya diam terpana memandang langkah bunda yang semakin lama semakin mendekat padaku. Dan aku tahu, aku pasti tidak akan mampu bertahan jika didekati oleh wanita yang aku rindukan pelukannya itu. Hingga,

‘Bruuuukkk…..’tubuhku ambruk. Aku jatuh pingsan, tidak sadarkan diri.

***

Aku serasa ada di daerah yang asing, tidak aku temui orang-orang yang aku kenal disana, semua makhluk yang ada di dekatku terlalu asing hingga aku tak berani menanyakan namanya. Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada seorang laki-laki paruh baya, laki-laki itu tersenyum padaku, tangannya berisyarah memanggilku, tanpa sadar kakiku melangkah kearahnya dan aku terus melangkah menghampirinya hingga akhirnya aku sampai di dekatnya. Laki-laki itu melebarkan tangannya, hendak memelukku. Akupun cepat-cepat menghindar darinya, aku takut padanya, bukan karena laki-laki itu berwajah seram, tapi aku takut padanya karena aku tidak kenal siapa dia, siapa laki-laki paruh baya itu.

“ Jangan takut putriku….”

Aku dengar ucapan itu dengan jelas, dia memanggilku dengan panggilan putriku, laki-laki paruh baya itu memanggilku dengan panggilan putriku, aku putrinya??Ya Tuhan, benarkah dia itu ayahku? Benarkah laki-laki paruh baya itu adalah ayahku? Ayah yang tidak pernah aku kenal selama ini? Benarkah?

“ Aa….aa…a…ayah ??? “ ucapku terbata, perasaan heran dan tak percaya terasa jelas dalam hatiku. “ Benarkah dia ayahku? “ tanyaku dalam hati sambil terus memandangnya. Laki-laki itu masih membiarkan tangannya terbuka lebar, dia masih hendak memelukku. “ Benarkah aku ini anaknya? “ aku yang masih tidak percaya berusaha menemukan jawabannya dari dalam hatiku. Aku pandangi laki-laki paruh baya itu, dari atas kebawah, dan dari bawah keatas. Tapi aku tidak merasa ada sesuatu yang mirip denganku, dengan kak Hana, dengan bunda juga. “ Hah kak Hana? Bunda? Dimana mereka ? kenapa mereka meninggalkan aku ? “ tiba-tiba ingatanku tertuju pada kak Hana dan bunda yang memang tidak ada saat ini. “ Dimana mereka ya Tuhan…? “ ucapku merintih.

“ Kemarilah putriku, percayalah kalau aku ini adalah ayahmu. Ayah tidak akan menyakitimu. Kemarilah nak….” Ucapnya setelah tahu aku enggan menghampirinya. “ Apa? Laki-laki paruh baya itu memanggilku nak? Seperti bunda ? “ ucapku semakin tidak percaya. “ Setelah bunda mengucapkan kata nak itu padaku, tiba-tiba aku terdampar ke daerah asing ini. Ya aku baru ingat kejadian sebelum aku terdampar di daearah asing ini. Tapi, kemana bunda sekarang, apa aku sengaja diasingkan? Atau sengaja di buang jauh-jauh karena sejatinya, bunda memang tidak pernah sudi dengan kehadiranku dalam hidupnya. “ ujarku membatin. “ Mungkin laki-laki yang mengaku ayahku inilah yang dapat memberitahuku tentang daerah asing ini, dan aku akan bertanya siapakah yang telah membawaku kesini…” ucapku sambil berjalan menghampirinya. Laki-laki itu tersenyum melihatku berjalan kearahnya. Dan senyum itu semakin merekah ketika aku sampai di dekatnya. Dan laki-laki itupun langsung memelukku. Kini aku berada dalam pelukannya. Pelukan laki-laki yang mengaku sebagai ayahku.Dia mendekapku erat, era……t sekali.

“ Putriku…..” ucapnya ketika aku sudah berada dalam pelukannya. Pelukan yang erat dan hangat, pelukan yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari bunda.

“ Ayah? “ ucapku yang masih heran dan tidak percaya. “ Ya, putriku Raisya….. aku ini ayahmu, ayah kandungmu. “ Laki-laki itu semakin membuatku heran. Dia tahu namaku.

“ Benarkah kau adalah ayahku? Ayah kandungku? “ tanyaku sambil melepas pelukan hangat itu. “ Ya sayang… aku ini adalah ayahmu, ayah kandungmu yang tidak pernah kamu kenal dalam hidupmu. “ jawab laki-laki itu sambil mengangguk dan tersenyum menatapku. “Jika benar kau adalah ayahku, beri tahu aku ayah, kenapa aku bisa berada di tempat asing ini? Kenapa aku bisa terdampar di sini? Jika ayah tidak berbohong padaku, ayah pasti tahu ceritanya, kenapa aku bisa sampai di tempat ini.” Aku duduk di sebelah ayah, kini aku dengan jelas dapat melihat seperti apa laki-laki yang mengaku sebagai ayahku ini. Bajunya, sama persis seperti baju yang ada di foto keluarga milik kak Hana. Tapi aku tidak ada di foto itu.

“ Re, ayah tahu mengapa kamu tidak mengenali ayah ketika ayah mengatakan bahwa ayah ini adalah ayah kandungmu, karena ayah meninggalkanmu sejak kecil. Meninggalkanmu hidup berdua dengan bundamu. “ ayah berkata sambil mengusap kepalaku. Aku rasakan kehangatan dari belaiannya. “ Berdua? “ tanyaku dengan suara keheranan yang melebihi rasa heranku tadi, ketika baru bertemu dengan laki-laki paruh baya yang mengaku sebagai ayahku ini. “Ya, berdua dengan bundamu. Bunda yang sangat mencintaimu Re, “ jawab ayah yang semakin membuatku merasa bingung tujuh keliling. “ Mencintaiku? Apakah ayah tidak salah? Selama ini kami bukan hidup berdua, tapi bertiga ayah, bertiga dengan kak Hana. Dan kak Hanalah yang paling bunda cintai bukan aku. “ ucapku semakin kebingungan. Mendengar ucapanku, ayah hanya tersenyum sambil menatapku. Tatapannya sama seperti tatapan bunda sebelum aku sampai ke tempat ini.

“ Ayah, jawablah, kenapa aku bisa sampai berada di daerah asing ini?" Aku edarkan pandanganku ke sekelilingku yang penuh dengan orang asing, orang yang sama sekali tidak aku kenal. Mereka seakan tidak peduli padaku dan ayah, mereka hanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

“ Putriku, maafkan ayah, ayah tidak bisa menceritakan semua ini padamu, tapi bukan berarti kamu bukan anak kandung ayah. Percayalah Re, ayah ini adalah ayah kandungmu, ayah yang sangat merinduimu. Tapi tenanglah putriku, janganlah kamu bersedih. ayah datang untuk mengantarmu, mengantarmu pada pintu kenyataan. “ ucap ayah yang semakin membuatku tak mengerti. “ Pintu kenyataan? Maksud ayah? “ tanyaku ingin tahu. “ Lihatlah……!! “ jari telunjuk ayah menunjuk kearah depanku. Dan aku dapat melihat dengan jelas siapa wanita itu.

“ Bunda?........“

ucapku semakin heran dan terkejut. Aku melihat bunda menangis disamping gadis yang tergeletak tidak berdaya. Dan aku tahu, aku pasti tidak salah melihat, itu bunda. Bunda. Wanita cantik yang sangat aku sayangi, walau sebenarnya bunda tidak pernah menyentuhku dengan kasih sayangnya.” Ayah, siapa gadis tak berdaya yang ada di depan bunda itu yah? Kenapa bunda mengangisinya? “ tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari bunda. Aku lihat, bunda sangat bersedih dan merasa terpukul dengan keadaan gadis yang ada di depannya itu.dan aku yakin, itu pasti kak Hana. Kak Hana, apa yang terjadi padanya Tuhan??

“ Ayah siapa gadis itu? Apakah itu kak Hana? “ tanyaku lagi. Aku tidak peduli jika ayah mengatakan aku adalah gadis cerewet yang tak tahu diri. Yang terpenting saat ini, aku ingin tahu siapa gadis yang bunda tangisi itu. Dan apa yang terjadi padanya.

“ Re, benarkah kamu ingin tahu siapa gadis itu? “ Tanya ayah padaku. Aku tak menggubris pertanyaan ayah.“ Perhatikanlah putriku, siapa gadis yang ada di depan bundamu itu, siapa gadis cantik yang bundamu tangisi itu. “ ucap ayah kemudian. Aku kaget setengah mati, benarkah yang aku lihat ini? “ Itu aku ayah. Itu adalah tubuhku yang terbaring tak berdaya. Benarkah itu adalah aku ayah? “ tanyaku tak percaya. Apa yang aku alami selama ini cukup membuktikan bahwa bunda tak pernah menyayangiku, dan tak pernah sudi dengan kehadiranku dalam hidupnya.

“ Ya putriku, gadis cantik itu adalah kamu, putri tunggal ayah dan bunda. “ jawab ayah dengan yakin. Aku bertambah bingung dengan apa yang aku alami ini. “ Putri tunggal ayah dan bunda? Apakah ayah tidak salah mengatakan hal itu? “ tanyaku semakin heran “ Ya Re, kamu adalah putri tunggal ayah dan bunda, dan ayah takkan salah mengatakan hal itu padamu “ jawab ayah tersenyum. “Ayah, apa yang terjadi padaku? Kenapa bunda sampai menangisiku ayah? “ tanyaku lagi sambil berbalik memandang ayah yang hanya tersenyum mendengar semua pertanyaanku. “ Ayah tak bisa menceritakannya padamu. Maafkan ayah sayang, ayah hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Di pintu kenyataan. Sekarang pulanglah, kembalilah, bunda menantimu putriku “ ucap ayah yang tiba-tiba menghilang dari hadapanku.

***

“ Ayah……ayah…..tunggu yah,,,ayaaaaa………h”

Panggilku berteriak. Tidak ada jawaban. Yang aku dengar hanyalah suara tangis bunda yang semakin terdengar lebih jelas dan lebih dekat. “ Kenapa gelap yang aku rasakan saat ini?” ucapku dalam hati. suasana yang aku rasakan saat ini sangat jauh berbeda dengan suasa ketika ayah masih berada di dekatku. “ Ayah, kemana ayahku? ayah…..” teriakku memanggil-manggil ayah, sambil menggerakkan tanganku yang sangat terasa berat dan sakit. “ Re, sayang…..kamu sudah siuman sayang? Ini bunda sayang…..” aku dengar ucapan itu dari bibir bunda ketika aku berusaha menggerak-gerakkan tanganku. “ Aku dimana? “ tanyaku sambil melihat kesekelilingku. Aku sangat berharap bisa melihat ayahku disana. aku terus edarkan mataku hingga merasa nyeri dan panas, tapi tak aku temukan sosok ayah disana, yang ada hanyalah tiang infus yang berdiri tegak disampingku, dan selangnya yang terhubung ke urat nadiku. Hidungku juga mencium bau obat-obatan yang sangat menyengat. Aku melihat hanya ada bunda disampingku. Bunda menangis.

“ Bunda……” panggilku. “ Ya sayang, ini bunda…” bunda mencium tanganku. “Bunda, kenapa bunda menangis? Re dimana bunda?” Tanyaku kemudian. “ Sayang, kamu sudah benar-benar siuman putriku? “ ujar bunda sambil memelukku. Aku hanya mampu mendesah dengan apa yang bunda lakukan terhadapku. Badanku terlalu lemah, aku tak mampu bergerak.” Bunda, Re dimana? “ tanyaku setelah bunda melepas pelukannya. “ Kamu di rumah sakit sayang, “ jawab bunda sambil mengusap air matanya. “ Di rumah sakit? Kenapa Re bisa berada di sini bunda? “ tanyaku lagi sambil berusaha untuk bangun, tapi bunda menahanku.“Apakah kamu tidak ingat peristiwa di tangga itu putriku? “ Tanya bunda yang masih menggenggam erat tanganku. Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan bunda.

“ Bunda, kenapa bunda sendirian? Kak Hana ada dimana bunda?” tanyaku yang tak beroleh respon dari bunda. Bunda hanya diam membisu dengan semua pertanyaanku. Air mata yang sejak tadi menetes, kini tambah merembes deras, menandakan bahwa sesuatu telah terjadi pada kak Hana. “ Bunda, kenapa bunda diam dengan semua pertanyaan Re, kemana kak Hana? Apa yang telah terjadi padanya bunda? “ aku terus menghujam bunda dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang tak satupun bunda menjawabnya.

Tiba-tiba bunda meraih sebuah amplop warna merah muda yang ada di atas meja dekat ranjangku. Dengan air mata yang masih menetes, bunda memberikan amplop warna merah muda itu padaku. Dengan perasaan heran, aku menerimanya. Tanganku gemetar. “ Surat itu untukmu Re, dari kak Hana. “ ujar bunda sebelum aku bertanya siapa pengirim surat beramplopkan merah muda yang kini berada di tanganku ini. “ Kak Hana bunda? “ tanyaku semakin heran. Bunda hanya mengangguk sambil mengusap air matanya. “ Bacalah surat itu sayang, jangan tanya bunda kemana kak Hana pergi…..” ucap bunda terisak.

Perlahan, aku membuka surat terbungkus amplop merah muda itu, aku percaya surat itu dari kak Hana, karena aku tahu dan kenal, tulisan yang tertuang dalam kertas surat itu adalah tulisan kak Hana. Tulisan yang sangat rapi dan indah dipandang mata. Setelah melirik kearah bunda, akupun mulai membaca isi surat tersebut :

Teruntuk adikku satu-satunya, Raisya.

Re, setelah kamu membaca surat kak Hana ini, kamu akan tahu dan mengerti tentang sesuatu yang selama ini kamu anggap tidak pernah terjadi. Kak Hana ingat tentang perkataanmu waktu itu bahwa, “ Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Karena semua yang ada di dunia adalah skenarionya Tuhan, Tuhan yang menjadi sutradaranya ….” Tentunya kamu masih ingatkan adikku?

Raisya adikku….

Mungkin selama ini kak Hana nyaris tak pernah bertegur sapa denganmu, kau tahu kenapa? Karena kamu lebih cantik dari pada kak Hana, kamu lebih pintar, kamu lebih kreatif, hingga kamu berhasil menjadi siswi teladan di sekolah. kamu lebih banyak mempunyai kelebihan dari pada kak Hana. kak Hana membencimu dengan semua kelebihan yang kamu miliki itu. Maafkan keegoisan kak Hana Re…. Tapi setelah kejadian yang menimpamu 8 hari yang lalu, itu cukup membuat kak Hana sadar siapa kak Hana sebenarnya. Kamu tahu Re adikku?.....

Re, mungkin kamu berfikir bunda tidak pernah menyayangimu. Bunda hanya menyayangi kak Hana dan selalumemanjakan kak Hana. Tapi sebenarnya Re, bunda sangat menyayangimu. Bunda sangat mencintaimu. Alasan bunda selama ini menjauhimu hanyalah untuk menutupi identitas kak Hana yang sebenarnya, kak Hana sakit mengetahui hal ini Re……

Mungkin memang benar jika selama ini bunda selalu mengacuhkanmu. Tapi sebenarnya, dibalik keacuhan itu, tersimpan mutiara yang tak pernah kak Hana sentuh, dan takkan mungkin menjadi milik selainmu.

Re, kak Hana bukan anak kandung bunda, kak Hana bukan kakak kandungmu. Foto keluarga yang pernah kak Hana perlihatkan padamu, sebenarnya itu adalah fotomu bersama bunda dan ayah, ayah yang selalu kamu panggil dalam masa koma di ranjang rumah sakit.

Apakah kamu masih ingat tentang kejadian itu Re? kejadian, ketika kamu pingsan di tangga depan kamar kita, bunda langsung menjerit histeris. Kak Hana yang kebetulan berdiri di pintu kamar merasa heran dengan sikap bunda yang tak seperti biasanya. Kak Hana merasa cemburu dengan jeritan bunda yang lebih keras dari biasanya. Karena biasanya, apapun yang terjadi padamu, bunda tak pernah mempedulikanmu. Apapun yang terjadi.

“ Re, sayang….maafkan bunda nak, mungkin karena bunda kurang peduli terhadapmu selama ini, kamu jadi seperti ini sayang……maafkan bunda Raisya, maafkan bunda jika selama ini bunda selalu mengacuhkanmu dan lebih memilih untuk menyayangi Rehana kakakmu. Bunda menyayangimu Re, bunda mencintaimu, percayalah putriku…… sikap acuh bunda selama ini hanyalah untuk menutupi siapa sebenarnya Rehana yang kamu panggil kak Hana itu….” Ucapan itulah Re, yang bunda ucapkan sambil memelukmu yang sudah sejak tadi tak sadarkan diri.

“ Rehana bukan anak kandung bunda sayang, dia bukanlah kakak kandungmu. Bunda lebih dekat dengannya karena hidup Rehana takkan lama lagi, Rehana akan meninggalkan dunia ini dengan penyakit yang diidapnya. “ dan kata itulah adikku yang membuat hati kak Hana hancur.

Kamu tahu Re, ternyata kasih sayang bunda selama ini, hanya karena umur kak Hana tidak lama lagi, bukan karena kak Hana ini adalah anaknya. Kak Hana menangis mendengarnya. Dada kak Hana terasa sesak tiba-tiba. Padahal semula kak Hana bangga, karena ternyata kak Hana lebih disayang, lebih diperhatikan, lebih dimanjadari pada kamu, putri bungsunya. Tapi ternyata semua itu hanyalah sampul dari penyakit kak Hana, yang semakin hari semakin menggerogoti hati kak Hana. Re, kak Hana mengidap penyakit kanker hati sayang…..

Mau tak mau kak Hana harus pergi dari dunia ini adikku, meninggalkan bunda, meninggalkanmu, meninggalkan boneka kesayangan kak Hana, mainan, baju mahal, dan segala yang kak Hana punya. Kak Hana sangat menyesal dengan keegoisan dan kesombongan kak Hana selama ini Re, kak Hana menyesal.

Maafkan kak Hana Re adik tiri yang cantik…..

Bunda tak pernah berhenti menangis di sampingmu. Bahkan ketika kak Hana dalam masa kritis, bundapuntak datang menjenguk kak Hana, hingga kak Hana menghembuskan nafas terakhir setelah berhasil memberikan surat yang ada di tanganmu itu pada bunda. Karena kak Hana membuat surat ini, satu hari sebelum pintu kematian terbuka lebar untuk kak Hana.

Kak Hana sudah pergi Re, kak Hana sudah tiada. Takkan pernah lagi ada orang lain yang akan merebut kasih sayang bunda padamu. Satu pesan kak Hana adik tiri yang cantik, “jagalah bunda kita. Buatlah bunda selalu tersenyum walau musim telah berganti. Karena semasa hidup kak Hana, hanya bundalah yang selalu menyayangi dan mencintai kak Hana, walaupun pada akhirnya kak Hana tahu, seperti apa bentuk kasih sayang bunda buat kak Hana yang sesungguhnya.

Raisya…..

Semoga surat ini dapan mewakilkan permintaan maaf kak Hana selama kita hidup bersama. Re, kak Hana pergi ya……

Tertanda

Rehana

“ Bunda……”

Aku langsung berhambur kepelukan bunda, bunda memelukku erat. “ Bunda, kak Hana bunda, kak Hana……hiiksssss…hiiikkkksssssh….” ucapku dalam tangis yang semakin menjadi. “Mengapa Tuhan begitu cepat memanggil kak Hana pergi dari kehidupan kita bunda? Re masih ingin main sama kak Hana “aku masih berada dalam pelukan bunda, pelukan yang selama ini hanya milik kak Hana, aku tak pernah menikmatinya. “ Maafkan bunda sayang….. bunda tahu bunda salah karena membiarkanmu berada dalam keterpurukan, maafkan bunda Re. “ ucap bunda sambil mengelus rambutku. Aku hanya mengangguk pelan.

Tiba-tiba pintu kamar tempatku dirawat terbuka. Dokter Hendri masuk, beliau tidak sendiri. Disamping kanannya telah berdiri seorang laki-laki berbaju putih juga masuk, berjalan di belakang dokter Hendri. Aku seperti telah mengenal laki-laki itu. Dan aku semakin yakin dengan ingatanku ini ketika laki-laki berbaju putih itu tersenyum manis kepadaku. Tapi aku lupa siapa nama laki-laki berbaju putih itu. Dokter Hendri berjalan kearahku dan memeriksaku dengan alat yang tergantung di lehernya. Bunda mundur satu langkah, tapi aku, aku tak bisa berpaling dari senyum manis itu. Aku masih memutar otakku, berusaha mengingat dengan baik siapa laki-laki yang kini berdiri menatapku dengan senyumannya.

“ Kamu sudah sadar Re? “ laki-laki itu membuka suaranya. Aku jadi semakin yakin bahwa aku sangat mengenalnya. “ Kamu masih ingat padaku kan Re? “ tanya laki-laki itu sambil berjalan mendekat kearah ranjangku. Jarak antara aku dan laki-laki itu sangat dekat sekali hingga aku dapat mencium wangi parfum yang digunakannya. dan sekarang aku benar-benar ingat siapa laki-laki yang kini berdiri di sampingku ini.

“ Ustadz Yusuf ?.....”

Sapaku pelan. Aku lihat laki-laki itu tersenyum sambil mengagguk. “ Ya Tuhan…. Ternyata benar, laki-laki berbaju putih itu adalah ustadz Yusuf. Pembawa materi kuliah setiap selesai shalat jama’ah subuh. “ Ustadz….” Ucapku sambil mencium telapak tangannya. “ Syukurlah kamu masih ingat padaku, itu artinya, obat bius yang katanya dapat membuat pemakainya lupa ingatan ternyata tidak berfungsi. “ ujar ustadz Yusuf membuatku kaget dan terkejut.

“ Obat bius? “ tanyaku mengalihkan pandangan kepada bunda yang masih mengalirkan air mata. “ Bunda, apa yang terjadi sebenarnya ? “ aku berusaha bangun, tapi ustadz Yusuf menahanku. “ Kamu tiba-tiba pingsan Re, “ jawab ustadz Yusuf. “ Pingsan?“ ujarku semakin terkejut. “ Ya, kamu pingsan 8 hari yang lalu, ketika kamu baru pulang dari surau tempatku mengisi kuliah subuh. “ jawab ustadz Yusuf. Aku alihkan pandanganku kearah bunda. Bunda mengangguk pelan, membenarkan cerita ustadz Yusuf.

“ Kak Hana bunda? “ tanyaku lagi. Bunda menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya ketika mendengar pertanyaanku. “ Rehana meninggal kemarin sore, “ jawan dokter Hendri. “ Innalillahi wa inna ilaili raji’un” aku langsung mengucapkan kalimat istirja’ mendengar ucapan dokter Hendri. “ Kak Hana meninggal dunia, berarti benar apa yang tertuang dalam surat yang aku baca tadi.” Ucapku dalam hati.

“ Raisya…..” bunda langsung memelukku. “ Rehana bukan kakak kandungmu sayang, “ ucap bunda sambil mendekapku. “ Kamulah putri bunda yang sebenarnya. Sikap bunda selama ini padamu hanyalah karena umur Rehana tidak akan lama lagi sayang….. Rehana menderita penyakit kanker hati. “ lanjut bunda yang masih mendekapku. “ Kak Hana, “ ujarku pelan. Aku lihat dokter Hendri dan ustadz Yusuf juga ikut menitikkan air mata.

“ Maafkan sikap bunda selama ini Re, maafkan keacuhan bunda….. bunda menyesal…” air mataku semakin deras mengalir mendengar ucapan bunda. Apa yang aku dengar dari ayah benar. Ternyata bunda sangat mencintaiku. Dan hanya akulah putrinya, tak ada yang lain.

“ Ya Tuhan….. seandainya ayah masih ada dan juga bisa mendekapku seperti bunda, maka lengkaplah kebahagiaanku saat ini. “ ujarku membatin. “ Ustadz Yusuf, semua ini juga berkatmu ustadz, terima kasih…..” aku mengedipkan mataku kearah ustadz Yusuf yang kemudian keluar bersama dokter Hendri.

“ Bunda berjanji Re, bunda akan menyayangimu selamanya……” bunda melepas pelukannya, kemudian mencium keningku. Aku bahagia sekali. Karena akhirnya bunda juga menyayangiku seperti bunda menyayangi kak Hana, kakaku. Walau kini aku tahu bahwa kak Hana bukanlah kakak kandungku. Tapi kak Hana tetap kakak yang cantik dan baik hati dalam hatiku.

“ Bunda…..” aku kembali memeluk bunda. Dan takkan pernah aku lepas lagi selamanya.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline