Lihat ke Halaman Asli

Perkembangan Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam [1]

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERKEMBANGAN HUKUM FOREX TRADING VALAS HALAL MENURUT HUKUM ISLAM

Pengantar

Tulisan ini mengambil judul yang hampir sama dengan judul ceramah Pak Sjafruddin di Kampus Universitas Indonesia dalam Kuliah Ramadhan pada tahun 1976/ 1397 H(Prawiranegara, S., Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Pembangunan, Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam “YAPI” bekerja sama dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) ). Perbedaannya adalah saya tambahkan “Bangsa Kedepan”.

Saya gunakan judul demikian oleh karena saya menilai walaupun Indonesia telah lebih dari 65 tahun merdeka, tetapi dalam hal idiologi pembangunan Indonesia belum merdeka. Indonesia masih menganut idiologi kapitalisme sebagaimana yang digunakan oleh Belanda dahulu dalam menjajah negeri ini. Indonesia masih melaksanakan sistem jahiliah atau hukmul jahiliah sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Qur’an Surat Al Maidah 5: 48

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

[421] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya.

[422] Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.

Menurut ukuran Al Qur’an idilogi kapitalisme adalah idiologi yang salah dan selama idiologi ini masih terus menguasai mental pembangunan, maka demoralisasidengan semua konsekwensi negatifnya tidak bisa dihindarkan. Visi kemerdekaan menjadibangsa dan negara yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sulitdiwujudkan. Disinilah peran Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia yaitu menggantikan mental dan idiologi pembangunan penjajah dengan mental dan idiologi pembangunan sendiri dan berlomba-lomba berbuat kebajikan dalam rangka melaksanakan nilai-nilai yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang oleh Bung Karno diberi nama Pancasila.

Tulisan inidimaksudkan sebagai upaya lanjutan penjabaran ekonomi Islam dalam pelaksanaan Pancasila sekaligus sebagai penghormatan kepada Pak Syafruddin sebagai seorang perjuang kemerdekaan bangsa secara idiologi. Penulis amat terbantu dalam penulisan ini dengan diterbitkannya kembali tulisan-tulisan Pak Syafruddin oleh Panitia Seratus Tahun(1911-2011) Mr. Syafruddin Prawiranegara.



Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam? Apa pendapat para ulama mengenai trading forex, trading saham, trading index, saham, dan komoditi? Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam? Mari kita ikuti selengkapnya.

“Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.

Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.

Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.

Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.

Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.

Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dapatlah disampaikan bahwa bilamana dimasa silam ada kesangsian untuk menerima nilai-nilai Islammengisi dan memberi arah bagi pelaksanaan Pancasila, maka kini kesangsian itu kemungkinan besarsudah sirna. Sirnanya kesangsian ini disebabkan oleh dua hal: pertama adanya penilaian sejarah pembangunan bangsa sejak kemerdekaan yang masuk akal dan kedua ditemukannya hukum konsistensi pembangunan bangsa-bangsa yang bisa menjelaskan kegagalan masa lalu dan langkah-langkah yang perlu ditempuh kedepan.

Pancasila sejak Indonesia merdeka telah digantikan secara operasional oleh nilai-nilai kapitalisme dalam pembangunannya. Nilai-nilai kapitalisme adalah individualisme, materialisme, kebebasan dan posistivime ilmu pengetahuan.Hasilnya adalah Indonesia tidaklah semakin mendekati visi kemerdekaannya tetapi semakin menjauh. Kegagalan ini disebabkan nilai-nilai kapitalisme tidak konsisten dengan nilai-nilai Pancasila, bahkan berlawanan. Individualisme dan materialisme tidak konsisten dengan faham Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.Adalah tepat bahwa Presiden Republik Indonesia dan dua mantan Presiden menyatakan pada tanggal 1 Juni yang lalu bahwa Indonesia perlu menggeiatkan implementasi Pancasila.

Tetapi bagaimana usaha-uasaha penggiatan harus dilakukan? Disinilah hukum konsistensi berperan. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab perlu dijadikan patokan dan dilembagakan bagi pelaksanaan masing-masing sila Pancasila maupun pelaksanaan Pancasila secara keseluruhan. Secara keseluruhan tujuan pembangunan bangsa adalah meraih kemenangan dunia-akhirat. Untuk itu perlu dimplentasikan lima unsur pembangunan secara terpadu. Kelima unsur ini adalah peningkatan keimanan bangsa, peningkatan mutu hidup manusia Indonesia, peningkatan kecerdasannya, peningkatan mutu institusi keluarga Indonesia dan peningkatan kekayaan materinya. Kelima hal ini terkait dengan akrab dengan sasaran lapangan kerja produktif penuh untuk segenap angkatan kerja Indonesia. Sasaran lapangan kerja produktif penuh ini perlu ditunjang oleh sistem keuangan syariah. Orientasi strategi dan kebijakanpembangunan bangsa haruslah bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijasanaan permusyaratan/perwakilanKebijaksanaan itu harus proaktif memanfaatkan sekaligus mengendalikan pasar dan tidak reaktif . Isi kegiatan lembaga-lembaga pelaksana seperti MPR, DPR, DPD, pemerintah, dll.,perlulah mendukung terwujudnya tujuan pembangunan bangsa.Budaya kerja lembaga-lembaga pelaksana ini perlulah berubah kearah lebih menghormati waktu sebagai sumber yang sesungguhnya terbatas, kearah mengutamakan musyawarah penuh hikmah berbasis ilmu dan penelitian lapangan sebagai salah satu sumber ilmu dalam rangka terwujudnya tujuan operasional bersama. Untuk menunjang budaya kerja yang demikian dibutuhkan rekayasa kembali(process reengineeering) aparat-aparat utama organ-organ negara pelaksana pembangunan. Perubahan dalam orientasi maupun budaya kerja perlulah ditunjang oleh perubahan-perubahan tertentu dari UUD-1945.Wallahu’alam bish shawab.

Penulis RUMI ALGAR

SARJANA ANTROPOLOGI UNPAD

Penulis Aktif Di Forum Blogger.

Nama Blogger: Roundmind.Blogspot

Penulis Aktif Di Media Social :Kompasiana, Sindonews, Republika, Dan Media Massa Lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline