Laut Cina Selatan adalah salah satu kawasan strategis di dunia yang menjadi pusat perebutan pengaruh geopolitik antara negara-negara kawasan dan kekuatan besar global. Kawasan ini memiliki nilai ekonomi dan strategis yang sangat tinggi karena menjadi jalur utama perdagangan internasional, dengan lebih dari sepertiga perdagangan global melintas di wilayah tersebut.
Selain iru, potensi sumber daya alam, seperti cadangan minyak dan gas, menjadikannya area dengan kepentingan ekonomi besar. Ketegangan di Laut Cina Selatan (LCS) memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan klaim teritorial oleh berbagai negara pesisir, termasuk Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan.
Tiongkok mengklaim sekitar 90% wilayah LCS berdasarkan konsep "kedaulatan maritim" yang dikukuhkan melalui peta historis "Nine-Dash Line" sejak 1947. Klaim ini berlawanan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mengatur batasan-batasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara.
Ketegangan di Laut Cina Selatan (LCS) memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan klaim teritorial oleh sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok. Perselisihan ini dimulai dari klaim historis Tiongkok yang merujuk pada peta Nine Dash Line yang pertama kali dipublikasikan pada 1947 oleh Republik Tiongkok, sebelum dilanjutkan oleh Republik Rakyat Tiongkok setelah komunis berkuasa.
Klaim ini mencakup hampir 90% wilayah Lait Cina Selatan, yang bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara lain, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan.
Kalim ini didasarkan pada bukti historis berupa catatan kuno tentang kehadiran penjajah dan nelayan Tiongkok di pulau-pulau kecil di LCS. Namun, peta tersebut dan klaim historisnya bertentangan dengan prinsip-prinsip UNCLOS yang diakui internasional, yang menyatakan bahwa batas ZEE diukur hingga 200 mil laut dari garis pantai.
Laut Cina Selatan adalah wilayah yang sangat strategis, menghubungkan rute perdagangan laut penting dan mengandung sumber daya alam seperti minyak dan gas. Tiongkok telah memperkuat kehadirannya dengan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi militer di terumbu karang.
Langkah ini telah memicu kekhawatiran dari negara-negara tetangga dan Amerika Serikat, yang mengadvokasi kebebasan navigasi dan hukum internasional. Persaingan kekuatan ini menjadi bagian dari upaya Tiongkok untuk memperluas pengaruh dan mengamankan kedalaman strategis bagi infrastruktur di wilayah pesisir, sementara Amerika Serikat memperkuat aliansi militernya di kawasan tersebut.
Tiongkok memandang LCS sebagai elemen penting dalam strategi pertahanan dan ekspansi pengaruhnya. Sejak awal 2000-an, Beijing secara aktif memperluas kendali di wilayah tersebut dengan membangun pulau-pulau buatan dan fasilitas militer di terumbu karang seperti Fiery Cross, Subi, dan Mischief Reefs di Kepulauan Spratly. Instalasi ini mencakup landasan pacu, pelabuhan, dan fasilitas radar serta sensor yang digunakan untuk memantau aktivitas di wilayah tersebut.
Dengan mendirikan pos-pos militer, Tiongkok berupaya meningkatkan "kapasitas anti-akses/penolakan wilayah" (A2/AD) yang membatasi kebebasan operasi militer negara lain, terutama AS.
Geopolitik di LCS tidak hanya memengaruhi negara-negara di kawasan, tetapi juga memiliki dampak global. Jalur perdagangan laut yang melewati LCS adalah salah satu rute perdagangan tersibuk di dunia, dengan lebih dari 5 triliun dolar AS perdagangan internasional melewatinya setiap tahun. Gangguan atau konflik di wilayah ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan menimbulkan dampak ekonomi yang luas.