Lihat ke Halaman Asli

Meninggalnya Hajah Ansori

Diperbarui: 4 Februari 2023   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nggak ada gunanya sholat, kalau sholatnya model begitu." Sindir perempuan tua yang biasa kami panggil Hajah Ansori. Bukan karena menghormatinya, lebih kepada 'melindungi diri' dari mulut nyinyir yang bisa monyong lima centi kalo dipanggil tanpa embel-embel 'hajah'. Padahal cuma umroh, dua tahun lalu. Tapi belagu. Pernah suatu ketika, ada ibu-ibu dari kampung sebelah diundang hajatan di rumah bu RT, riuh bisik mereka menanyakan sebab musabab gelar 'hajah' untuk istri dari pak Ansori itu. "Ya meskipun masih umroh, minimal saya udah pernah ke Mekkah to, ibu-ibu. Pernah nyium udara Mekkah. Nggak kayak kalian, punya duit malah buat hedon." Lagi-lagi bibir yang terbalut lipstick merah murahan itu monyong ke depan, dan sesekali tertarik ke samping kanan kiri membenahi kerutan. Matanya yang ber-celak tebal semakin mempertajam setiap panah yang dilesatkan. Bahkan hanya dengan ia membuka mulut, semua orang pasti akan mulai menerka-nerka, kira-kira siapa kali ini yang jadi sasarannya.

Setauku, ia tak memiliki tetangga akrab. Tak pernah ia minta tolong pada tetangganya saat kesulitan. Ini terbukti saat suaminya meninggal gegara stroke. Ia justu membawa jasad suaminya yang sudah dingin menuju rumah sakit untuk diurus hingga dimakamkan. Benar-benar sombong tingkat dewa, orang ini. Takabur. "Biarlah nanti kalo dia yang mati, suruh mayatnya jalan sendiri ke kuburan." Ucap salah seorang perempuan yang sering kena sindir.

Suatu ketika, bapak menyuruhku menggantikannya khataman Qur'an di rumah Hajah Ansori. Karena kiai tidak bisa hadir, aku yang notabenenya adalah lulusan sekolah Islam, disuruh si pemilik rumah untuk memimpin "tawasul". Aku tak tau tawasul seperti apa, dan bagaimana caranya. Melihat penolakanku, Hajah Ansori seketika nyinyir di depan undangan yang lain. Terlihat betapa tak guna-nya aku ini. Lulusan sekolah agama tak bisa tawasul, artinya tak pernah berdo'a, tak ada bekasnya sudah sekolah tahun-tahunan, katanya. Jika saja yang dinyinyir bukan aku, pasti sudah masuk liang lahat dia! Berhubung masih memiliki sopan santun, kuucap berkali-kali 'maaf' karena tak dapat mengabulkan permintaannya.

Tak cukup sampai disitu, dua tahun lalu semenjak kepulangannya dari umroh, Hajah Ansori membangun surau kecil di samping rumah. Tiap pagi dan sore ia berkeliling ke tetangga, menggedor pintu dan jendela untuk mengajak mereka sholat. Ia juga memamerkan kecanggihan dari surau itu, "Kalo disini udah pake kipas angin, jadi nggak kepanasan. Soundnya juga jernih. Masjid sebelah aja kalah". Ucap Hajah masih dengan lenggokan ala-ala tokoh antagonis sinetron. Emang kebanyakan nelen sinetron, orang ini.

Ulah lainnya adalah, aksi mengabsen warga kampung yang sholat di suraunya. Jika yang di-absen tidak ada, maka ia mengajak jamaah ramai-ramai ke rumah 'si mbolos sholat'. Dia pikir suraunya sebesar masjid Baiturrahman? Bisa-bisanya dia suruh warga kampung sholat di tempat sempit yang hanya muat 30-an orang. Gila!

Delapan tahun setelah umrah, akhirnya Hajah Ansori mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Mekkah kembali dan mengambil gelar 'Hajah' yang sesungguhnya. Sebelum berangkat ia kembali nyinyir pedas, di depan sultan tanah kampung kami. Yang ketika itu turut serta hadir di acara makan-makan pelepasan Hajah Ansori. Terkenal memang, sultan tanah ini kaya raya tapi pelitnya kaya Qarun. Kalo yang itu, pantas dinyinyir.

Melepas kepergian Hajah Ansori, tak sedikit orang yang mendoakan keburukan untuknya. Kudengar, warga berharap Hajah tak akan kembali dengan selamat. Ia terlalu banyak ceramah, terlalu banyak komen, dan terlalu banyak mengatur. Dia bukan presiden, suaminya yang sebelum meninggal nyalon jadi bupati, juga gagal. Jadi, tidak ada kewajiban warga taat padanya. Hajah Ansori tak mendengar soal do'a itu, tapi justru aku yang merinding. Bagaimana mungkin orang ke Mekkah yang umumnya dinantikan kepulangannya, justru didoakan mati saja.

Sebulan lebih berlalu, tibalah jadwal kepulangan Hajah Ansori. Harapan warga ternyata tak seketika diijabah oleh Tuhan Yang Maha Esa. Justru sebaliknya. Hajah datang dengan sumringah, dan cerita-cerita menakjubkan yang ia pamerkan ke warga kampung. Tak lupa ia membeli oleh-oleh dan beberapa liter air zam-zam untuk dibagikan ke warga.

Tapi tunggu, seminggu setelahnya, Hajah Ansori ditemukan benar-benar mati dan tergeletak di lapangan. Ia tak sendirian, rupanya. Ada ratusan mayat warga kampung berjajar di sampingnya. Sebuah gempa dahsyat dan tsunami memporak-porandakan rumah warga 3 kecamatan pesisir. Kini, aku baru tahu setelah timbunan surau Hajah Ansori dibongkar, sepucuk kertas lusuh bercampur tanah kutemukan, dengan isi, "Allah, Tuhanku. Aku ini orang jahat. Aku tak yakin jika aku mati nanti, mereka akan mengurusku dengan baik. Maka matikanlah saja aku bersama-sama dengan mereka. _Hasanah Ansori_"

Lucunya, Tuhan mengabulkan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline