Lihat ke Halaman Asli

Hantu Felix

Diperbarui: 15 Juli 2022   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sela-sela mengerjakan proposal skripsi ini aku menyempatkan menulis cerpen lagi, supaya otak nggak kaku sama bahasa-bahasa buku.

#

            Namaku Rindang. Sebuah nama yang penuh dengan harapan, dimana kedua orang tuaku berharap anaknya akan senantiasa menjadi pribadi yang mengayomi, meneduhkan dan bermanfaat bagi setiap orang layaknya pohon dengan daun lebat berwarna hijau, yang biasa disebut "rindang".

Kukira, harapan itu terkabul sedikit demi sedikit. Sejak SMP aku telah bergabung dengan tim kesehatan sekolah, pramuka dlsb. hingga masuk ke jenjang perkuliahan aku masih terus aktif menjadi relawan di bidang sosial. Beruntungnya aku masuk ke fakultas kedokteran dengan jurusan ilmu kesehatan masyarakat, jadi cukup relevan dengan kehidupan yang aku jalani.

Kisah ini bermula ketika aku menjalani koas di sebuah rumah sakit negeri di kabupaten tempatku berkuliah. Satu kelompok kami terdiri atas 5 orang, sebenarnya 6 orang tapi 1 teman kami meninggal seminggu sebelum koas dimulai. Sedih, takut? Ya, sedih dan takut. Bahkan aku sampai kesusahan tidur karena mengingat kematiannya. Kabarnya dia meninggal karena bunuh diri.

Sebelum ada kejadian bunuh diri ini. Salah seorang teman perempuan kami, beda kelas dan beda jurusan juga telah melakukan percobaan bunuh diri di loteng kampus. Meskipun tidak mati ditempat, namun tetap saja mati. Semua kasus dengan cepat ditangani oleh pihak yang berwenang, dan langsung ditutup oleh pihak kampus dengan alasan agar tidak membuat kegaduhan. Aneh. Sesimpel itu kah menangani nyawa manusia?

#

            Sore pertama di musim kemarau. Cuaca cerah bercampur dengan hawa kering. Sangat cocok untuk makan es krim. Dengan buru-buru aku menarik jas putih Aiman untuk mengantarku menuju mall yang dekat dengan kampus.

"Man, pengin McFlurry." Rengekku pada sepupuku itu. Kebetulan kami seumuran, satu kampus, satu jurusan, dan satu kelas. Sebab itulah, tak jarang Aiman dijadikan bahan perbandingan ketika ibu marah-marah. "Lihat tuh Rin, Aiman. Dia juga sibuk-kan, tapi masih bisa nganter budhe ke pasar, masih bisa masakin sarapan buat budhe. Rajin gitu lho, Rin. Kamu kapan bisa masaknya? Pulang-pulang tidur terus!" Aiman adalah pemangku tahta tertinggi di silsilah keluarga besar kami. Cucu kesayangan eyang, anak kesayangan semua sodara. Alah, padahal Aiman sama saja sepertiku, tidak pernah belajar.

"Lah, nggak ada duit. Ngirit, Rin." Jawabnya dengan songong. Kami akhirnya tidak jadi beli McFlurry dan memutuskan beli es krim murah di toko dekat kos.

"Eh, Rin. Elu tau nggak cerita soal Felix baru-baru ini." Di tengah keheningan tiba-tiba Aiman ngajak ngobrol pake bahan pahit kek biji mahoni. Dia tau aku sempat nggak bisa tidur dan nggak nafsu makan gegara kasus matinya Felix.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline