Lihat ke Halaman Asli

Rasyida Rifaati Husna

Teruntuk dan Karena CintaNYA

Memahami Dosa dan Pahala Sebagai Manajemen Risiko dan Potensi

Diperbarui: 23 Januari 2024   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://fightoffaithblog.com/2019/08/23/the-reward-of-sin/

Dari sekian banyak nilai agama yang manusia menjadikannya sebagi pondasi dalam bertingkah laku, dapat dikerucutkan menjadi dua hal yang dikotomis. Sebut saja pahala dan dosa.


Tidak bisa kita pungkiri, pahala dan dosa merupakan salah satu motif terbesar seseorang menjalankan ajaran agama dalam upayanya menyempurnakan hidup untuk mencapai kedudukan yang agung di alam keabadian atau yang sering kita sebut akhirat.


Cerita-cerita masa kecil, oleh guru-guru ngaji kita, tentang neraka yang begitu mengerikan itu, memang tak bisa hilang begitu saja dari kepala kita. Sebagai dorongan awal supaya kita taat dalam menjalankan ajaran agama, tidak masalah.


Permasalahannya adalah semakin dewasa seseorang banyak yang masih belum mengerti, bahwa pahala dan dosa hanyalah semacam pintu masuk saja. Dua instrumen pahala dan dosa sebenarnya merupakan manifestasi pendidikan untuk melatih kedewasaan berpikir kita dalam memahami dan mengukur dampak atas tindakan yang telah kita lakukan.


Dahulu mungkin kita mendapatkan pengetahuan tentang pahala salat berjamaah 27 derajat dan pahala salat munfarid hanya satu derajat. Tetapi, apakah sampai berumur 60 tahun (kalau bisa hidup selama itu) motif dalam menjalankan salat berjamaah sekedar supaya mendapat pahala 27 derajat?


Sebagai manusia yang setiap waktu berkembang kedewasaannya, perihal hitung-hitungan pahala semacam itu seharusnya bukan menjadi alasan utama dalam menjalankan ajaran agama.


Bahwa apa yang diajarkan agama, pastinya membawa dampak kemaslahatan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga orang lain. Tentang salat berjamaah di masjid misalnya, tidak hanya urusan pahala 27 derajat saja. Di dalamnya ada nilai silaturahmi yang kita dapatkan. Kita jadi sering bertemu banyak orang. Dari pertemuan-pertemuan itu kita menjadi akrab dengan jamaah lain. Keakraban-keakraban itulah yang menimbulkan rasa empati untuk saling tolong-menolong satu sama lain. Kalau ada yang sakit kita mengunjunginya, kalau ada yang kesusahan dibantu dan lain sebagainya.


Pahala sebagai manajemen potensi untuk kebaikan-kebaikan yang berlanjut. Begitu pula sebaliknya dengan dosa adalah manajemen resiko. Karena kita sebagai manusia dalam berbuat cenderung tidak mengenal batas atau resiko, mestilah dosa sebagai rem agar kita tidak lepas kendali dalam bertindak.


Mengutip Gus Candra Malik dari kajian 'Humor Sufi' bahwa kita tidak perlu terlalu ketat terhadap diri dengan takut dosa atau khawatir akan pengurangan pahala karena mau bagaimanapun kita manusia yang tempatnya salah dan dosa. Sehingga dosa dan pahala tetap kita sadari, namun itu bukan menjadi tujuan kita beribadah.


Gus Candra lebih lanjut lagi menuturkan bahwa kalau kita mengkaji lebih dalam kitab pedoman umat manusia (al-Qur`an), ukuran mizan di akhirat nanti bukan semata persoalan berapa banyak pahala ibadah seseorang, berapa banyak harta yang dikeluarkan untuk fakir miskin, berapa banyak ayat suci yang dideres atau dihafal dan lain sebagainya. Namun timbangan di alam keabadian nanti, yang akan menentukan diantara hamba yang beruntung dan selamat adalah mereka yang ahsanu 'amala.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline