Lihat ke Halaman Asli

Tulus Menerima atau Berharap untuk Diberi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Rosyidah Purwo*)

Suatu pagi yang cerah. Saya tergopoh pergi ke sekolah dengan menenteng tas cangklek biru laut pemberian mama lima tahun lalu. Meskipun sudah cukup lama, tas itu masih terlihat baru. Karena jarang sekali digunakan. Menurut saya tas tersebut kurang simple dikenakan. Teralu besar untuk ukuran tubuh saya yang cukup kecil. Tas itu sengaja dibeli oleh mama karena saya sedang mengerjakan skripasi. Biar tidak ribet menenteng skripsi, kata Mama.

Sampai di gerbang sekolah, seorang kawan menyapa sambil melontarkan pertanyaan, "tasnya bagus. Dari siapa?" Tentu saja saya berbahagia sekali mendapat sambutan hangat seprti itu. Apalagi sampai pada barang yang saya kenakan. Hanya saja ada sedikit rasa aneh dari pertanyaan "dari siapa". Menurut saya, dari siapa tas yang saya pakai adalah urusan pribadi yang tidak perlu ditanyakan oleh orang lain. Kecuali jika memang saya menghendaki untuk memberi tahu.

Wajar memang jika pertanyaan semacam itu muncul, sebab di sekolah tempat saya mengajar, seorang guru diberi hadiah oleh wali murid sudah menjadi hal biasa dan lumrah. Terlebih jika musim kelulusan dan kenaikan kelas tiba, bisa jadi seorang guru mendapat lebih dari sepuluh macam hadiah.

Barangkali saja kawan saya memiliki anggapan bahwa tas saya yang terlihat bagus di matanya adalah pemberian juga. Ada betulnya memang kalau ada anggapan semacam itu, karena memang tas cangklek warna biru milik saya itu adalah hasil pemberian, bukan hasil saya beli dari uang sendiri. Hasil pemberian mama saya tercinta yang sangat perhatian dan lucu.

Bukanlah sebuah kesalahan menerima hadiah. Sebab, menolak pemberian juga tidak dibenarkan. Namun, jika menerima pemberian sudah berubah menjadi 'budaya menerima', dan berujung pada 'harapan untuk diberi' ini yang perlu diwaspadai.

Rosulullah SAW tidak pernah melarang untuk menerima pemberian. Bahkan rosul juga pernah menerima pemberian sebidang kebun kurma dari Abu Thalhah Al-Anshari seorang hartawan dikalangan Anshar. Pemberian itu diterima oleh Rasulullah SAW dengan baik dan memuji keikhlasannya.

Dalam Q.S. Ali Imran: 92 Allah berfirman:

لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَاتُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللهَ بِه عَلِيْمٌ

(Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya).

Jadi, tidak ada salahnya menerima pemberian dari teman, sebab rosul tidak melarang. Namun perlu berhati-hati, jangan sampai penerimaan itu berubah menjadi harapan untuk diberi. Bukankah tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline