Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan keprihatinan mereka atas maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah korban kekerasan, khususnya perempuan dan anak-anak.
Pada tahun 2022, tercatat 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia, meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak juga mengalami tren kenaikan. Pada tahun 2019, terdapat 11.057 kasus, yang kemudian meningkat menjadi 11.278 kasus di tahun 2020. Kenaikan signifikan terjadi pada tahun 2021 dengan 14.517 kasus, dan terus berlanjut di tahun 2022 dengan 16.106 kasus. Jenis kekerasan yang paling banyak diterima anak-anak adalah kekerasan seksual, mencapai 9.588 kasus.
Situasi ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang tanpa terancam kekerasan seksual semakin menyempit. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat. Upaya bersama untuk memperkuat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan sangatlah penting untuk melindungi anak-anak dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.
Terdapat beberapa contoh kasus pelecehan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, salah satunya yaitu kasus pelecehan siswa sekolah dasar di daerah Boja, Kendal yang dilecehkan oleh tenaga pendidik dengan motif pelaku yang sering menonton vidio porno kemudian dilampiaskan kepada siswanya. Sudaryadi Terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap 2 siswa kelas 6 sekolah dasar.
Kasus yang serupa juga terjadi di ranah pondok pesantren yang merupakan pendidikan berbasis keagamaan. Kasus kekerasan seksual ini terjadi di Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat. Herry Wirawan yang merupakan pengasuh pondok pesantren tersebut, terbukti telah melakukan pelecehan seksual terhadap 13 santriwati dan telah dijatuhi hukuman mati. Putusan Kasasi menolak permohonan kasasi Herry dan tetap menjatuhkan hukum mati.
Dalam kondisi seperti diatas, dapat kita lihat bahwa kekerasan seksual di dunia pendidikan bagaikan luka menganga yang kian menggerogoti rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Kasus demi kasus terus bermunculan, bagaikan mimpi buruk yang tak kunjung usai. Mirisnya, tak jarang pelaku berasal dari orang-orang yang seharusnya melindungi dan mengayomi peserta didik, seperti guru, dosen, dan pengasuh asrama.
Situasi ini sungguh memprihatinkan dan tak boleh dibiarkan. Kita perlu menyuarakan keprihatinan dan mengambil langkah tegas untuk menghentikan tragedi ini. Beberapa faktor terkait maraknya kekerasan seksual diranah pendidikan adalah minimnya edukasi seks yang komprehensif di sekolah dan lingkungan keluarga menjadi salah satu celah bagi predator untuk melancarkan aksinya. Ketidaktahuan tentang seks dan batasan-batasannya membuat anak rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Budaya patriarki juga menjadi faktor maraknya kekerasan seksual di ranah pendidikan. Budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat turut berkontribusi pada maraknya kekerasan seksual. Pandangan yang merendahkan perempuan dan menjustifikasi pelecehan seksual menjadi embrio bagi terjadinya tindakan kekerasan. Faktor lain yang menjadi penyebab maraknya kekerasan seksual di ranah pendidikan yaitu lemahnya penegakan hukum bagi pelaku dan penanganan khusus terhadap korban kekerasan seksual. Penanganan kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan masih terkesan lamban dan kurang tegas. Kurangnya bukti dan stigma yang melekat pada korban seringkali menghambat proses hukum, sehingga pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.
Lantas langkah seperti apa yang dibutuhkan agar kekerasan seksual diranah pendidikan dapat berkurang? Harapan satu-satunya adalah ditentukan dengan adanya peran bersama dari berbagai pihak. Mulai dari peran pemerintah dalam membuat kebijakan dan regulasi yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual, peran lembaga pendidikan dalam edukasi seks yang komprehensif, menerapkan kebijakan anti pelecehan, dan membangun sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses bagi korban. Peran dari orang tua dan masyarakat juga menjadi peran penting dalam pencegahan kekerasan seksual di ranah pendidikan, seperti misalnya membangun komunikasi terbuka dengan anak dan peran masyarakat dalam berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H