Implementasi, Pengendalian dan Evaluasi Rencana dengan
Pendekatan Politik Di kawasan Timur Indonesia
Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota telah mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk dalam merumuskan program pembangunan. Dalam perkembangan pembangunan yang berdasarkan pada suatu esensi desentralisasi pada setiap kawasan timur Indonesia memang tidak berjalan dengan apa yang telah tercantum dalam aturan perundang-undangan, sehingga faktor ketidak adilan itu dirasakan pada sektor-sektor pembangunan infrasturkut yang terdapat di kawasan timur Indonesia.
Dalam undang-undang 26 tahun 2007 tentang wewenang pemerintah dalam menyelanggarakan penataan ruang mengenai pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Perkembangan ini memang tidak berjalan dengan sebaik mungkin, sehingga ketimpangan pada wilayah pembangunan sangat dirasakan. Masalah yang mendasar yang menyebabkan kawasan timur Indonesia khususnya Maluku, Maluku utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua yang tertinggal terkait dengan faktor internal dan faktor eksternal. pada kedua faktor tersebut memang sangat berpengaruh terhadap aturan pemerintah nasional dalam perumusan RPJPN dan RPJMN, yang kelihatanya mengandung esensi pembangunan secara desentralisasi. Akan tetapi yang dirasakan bukan implementasi dari sebuah program pemerintah pusat melainkan suatu implementasi yang berdasarkan pada suatu kekuatan politik yang berada ditangan pemerintah daerah yang seharusnya dievaluasi, ditinjau kembali menganai penyususnan program yang disusun oleh pemerintah pusat.
Pada faktor internal yang dijelaskan bahwa, disebabkan oleh dinamika sosial dan politik yang kurang mendukung upaya percepatan pengembangan wilayah yang sedang berjalan. Dalam beberapa tahun ini wilayah kawasan Timur Indonesia terjadi pergolakan sosial yang cukup besar, seperti di Maluku, Maluku utara, Sulawesi tengah, serta Papua. Sedangkan pada faktor eksternalnya yakni kawasan timur Indonesia merupakan
Kawasan yang cukup luas yang tersebar dalam pulau dan kepulauan serta jauh dari pusat pemernithan. Letak yang jauh tersebut menyebabkan dari pusat pemerintahan berimplikasi pada rendahnya tingkat perhatian pemerintah pusat terhadap wilayah ini. Maka dalam permasalahan tersebut diperlukan strategi untuk percepatan pengembangan wilayah kawasan timur Indonesia yang meliputi strategi percepatan SDM, Infrastruktur, dan wilayah (spasial).[1]
Dewasa ini, pemerintah daerah yang seharusnya mengambil kebijakan penuh terhadap pembangunan di daerah-daerahnya (kawasan timur Indonesia), lebih mementingkan dalam mempertahankan dinasti kekuasaan secara politik di daerah tersebut dibandingkan harus adanya program pembangunan yang segera dilaksanakan secara komprehensif.
Sehingga masyarakat yang hidup di kawsan timur Indonesia sangat dominan untuk terjun pada wadah politik, karena dalam anggapan tersebut bahwa, pemernitah dan masyarakat yang hidup di kawasan timur Indonesia kedua-duanya ingin terlibat secara praktis pada permainan politik yang tidak berlandaskan pada komitmen untuk membangun daerahnya bersama-sama dalam hal ini ialah pembangunan.
Dikarenakan SDM yang minim sehingga berimbas pada masalah infrastruktur, ekonomi dan pengenmbangan wilayah. Dari sumber daya manusia yang minim itulah masyarakat diajak untuk tidak lagi berbicara mengenai tujuan pembangunan tetapi diajak secara politik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah pusat dan menuntut otonomi khusus di setiap daerah kawasan timur Indonesia. Sehingga banyak sekali masyarakat yang hidup di kawasan timur Indonesia menanamkan pola pikir mengenai ketidakadilan pembangunan yang sangat sentralistik dan terpusat hanya wilayah barat Indonesia.