Pemerintah Kolonial ternyata cukup memainkan peranan penting dalam segala masalah pendidikan. Setiap ada perubahan harus dengan perstujuan gubernur jendral atau direktur pendidikan, oelh karenanya pendidikan dikontrol secara terpusat baik itu mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditenttukan oleh pusat. Jadi, setiap kebijakan tentang pendidikan di daerah harus ikut dengan kebijkan di pusat. Ini dapat kita lihat ketika terjadi kelesuan ekonomi yang melanda Hindia Belanda karena terjadi krisis gula pada 1884 yang menyebabkan ekonomi di Hindia Belandaterpuruk sehingga berdampak pada gaji guru saat itu. Kondisi ini menyebabkan peraturan mengenai pendidikan tahun 1871 segera diganti dengan keputusan pemerintah tahun 1885 yang mengurangi biaya pendidikan dan menyederhanakan kurikulum. Pada tahun 1887, W. P. Groenevelt, direktur pengajaran , Agama, dan industry pada tahun 1892. Kemudian usul disampaikan kepala Mentri Urusan Jajahan yang merundingkannya dengan Raja dan akhirnya dituangkandalam keputusan Raja pada 28 September 1892. Kemudian usul Raja dan akhirnya dituangkan dalam dalam keputusan Raja Pada 28 September 1892 yang termuat dalam lembaran Negara (Staatblad).
Groenevelt melihat dua kelemahan sekolah untuk pribumi yang ada sekolah itu tidak disesuaikan dengan kebutuhan penduduk, karena pada satu pihak memberikan terlampau sedikit dan di lain pihak terlampau banyak. Mereka dipersiapkan menjadi pegawai mendapat pendidikan yang terlampau sedikit sedangkan bagi rakyat biasa apa yang diajarkan itu terlampau banyak. Untuk memperbaiki kekurangan ini Groenevelt selaku Direktur agama dan industry, mengusulkan agar menerapkan dua jenis sekolah saja yaitu, Sekolah Kelas satu (Eerste Klasse School) untuk anak-anak golongan atas yang akan menjadi pegawai dan sekolah kelas dua (Twede Klasse School) untuk rakyat biasa. Kedua sekolah yang diusulkan itu tetap menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar, namun pada tahun 1907 pemerintah mewajibkan penggunaan bahasa Belanda di sekolah kelas satu. (hanya yang pertama lima tahun dan memakai guru-guru tamatan Kweekschool, yang kedua hanya berlangsung tiga tahun dan guru-gurunya bukan tamatan Kweekschol (Mestoko, 1986: 93; Lubis, dkk. 2003:13-14; Nasution 2008: 16,18,36,50).
Sejak awal abad ke-20 di seluruh muka bumi terdapat perkembangan dan pembaruan, yang sangat pesat khususnya di bidang politik dan ekonomi, termasuk di Hindia Belanda. Perusahaan-perusahaan Eropa di Hindia Belanda mengalami kemajuan pusat dan terjadi peningkatan dalam berbagai sector kehidupan. Seiring dengan kemajuan yang dicapai dalam berbagai sector kehidupan, dengan sendirinya meningkat pua permintaan tenaga kerja terdidik dan ahli. Di satu sisi penduduk pribumi pada waktu itu mulai termotivasi dan menyadari dirinya bahwa terjadi peningkatan dalam berbagai sektor kehidupan merupakan peluang bagi mereka untuk meningkatan taraf hidup dan perbaikan ekonomi. Peningkatan atau kemajuan saat itu lebih dirasakan oleh penduduk di kota-kota besar atau pusat-pusat aktivitas pemerintah Hindia Belanda karena ternyata perubahan peningkatan itu tidak secara menyeluruh dirasakan oleh rakyat yang berada di daerah perferi. Di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran untuk memeberikan kepada penduduk asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda), selama mereka menguasai Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang pribumi harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat yang telah menjadikan Belanda bangsa yang besar. Aliran atau paham ini dikenal sebagai politik Etis (Eitische Politick). "Bersambung……….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H