Lihat ke Halaman Asli

Peran Logika Tuyul yang dipakai para Pengambil Kebijakan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada dasarnya Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin dan konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang selalu ditunjukkan oleh kebenaran.

Idologi yang di bangun setiap manusia seharusnya dan sepantasnya mempunyai suatu kekuatan rasionalitas yang tidak menjadi ketimpangan untuk menghasilkan pemikiran yang hanya tersekat-sekat dalam suatu dimensi ikutan-ikutan dengan adanya perangkap kepentingan, selain itu dalam anggapan suatu pandangan jangan hanya bersandar terhadap pembelajaran oral saja tetapi bagaimana caranya menempatkannya secara koginitf bukan secara apresiatif. Artinya suatu keadaan yang menuntut bagaimana solusi yang tepat,maka dari itu permainan logika dalam memcahkan suatu masalah tetapi harus rasional bukan emosional, bukan hanya memakai suatu logika yang lebih pragmatis dan selalu memakai pemahaman yang dangkal. Maka dari itu dalam penulisan ini, penulis mencoba untuk membahas bagaimana proses penilaian pemahaman dengan tidak memakai ‘Logika Tuyul’ yang artinya pemahaman yang di pakai atau permainan logikanya dalam mengambil suatu kebijakan hanya terbatas dalam kepentingan lain dan lebih mengarah pada pragmatism penilaianya.

Dalam filsafat ilmu, logika sangat dibutuhkan untuk menjelaskan dan memahami sebuah gejala keilmuan. Hadiatmaja dan Kuswa Endah  melalui Suwardi Endraswara (2012: 174) menyatakan bahwa logika adalah cabang filsafat umum yang membicarakan masalah berpikir tepat, yaitu mengikuti kaidah-kaidah berpikir yang logis.

Macam-macam Logika

Logika sebagai sarana berpikir manusia apabila dipandang dari aspek waktu, maka logika dapat dibedakan menjadi dua, meliputi:

Logika tradisional atau logika naturalis atau logika kodratiah/alamiah (second order), yaitu cara berpikir sederhana berdasarkan kodrat atau naluri fitrah manusia yang sejak lahir sudah dilengkapi alat berpikir, sebagai contoh:

·Makan tidak sama dengan minum.

·Seseorang yang lapar pasti ingin makan.

·Seseorang yang haus pasti ingin minum.

Logika tradisional ini sering disebut juga logika bahasa atau logika linguistik karena logika jenis ini sering berfungsi untuk menganalisa bahasa (Suwardi Endraswara, 2012: 178). Menurut Noeng Muhadjir (2011: 23-24) logika tradisional terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu:

Logika formil deduktif Aristoteles.

Disebut deduktif karena pembuktian diambil dari premis mayor yang dipandang mutlak benar, untuk membuktikan kasus (yang disebut premis minor) dan apabila terdapat kecocokan (dalam makna implisit) dengan premis mayor, maka kesimpulan kasus itu benar. Sedangkan disebut formil karena kebenaran diuji berdasarkan sinkrunnya proposisi-proposisi mayor-minor dan term tengahnya, bukan diuji berdasarkan kebenaran materil

Maka dalam pandangan manusiawi mengenai apa yang di hasilkan sebagai produk buah pikir dari hasil pemahamanya dengan permainan logika yang di harapkan menjadi satu solusi yang mempunyai suatu nilai yang menjunjung tinggi kepentingan umum bukan hanya dalam mementingkan kepentingan individualistik semata. Karena dalam konstruksi berfikir sebelum bertindak harusnya sudah memprosesnya dalam wadah pemikiran yang di tapis secara halus dengan permainan logika yang di berikan oleh Tuhan keapada manusia yang begitu luar biasa. Yang di harapkan ialah bagaimana sebagai manusia sebelum mengeluarkan argument serta tindakan sudah di proses oleh logika yang besar bukan permainan logika yang kecil pragmatis (logika tuyul).

Pada era-demokrasi ini banyak sekali manusia yang mencoba untuk tidak memakai esensi diri sebagai manusia dalam tindakan berfikir alasanya karena apa, pertama manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan dan kewajiban (sampai batas tertentu) untuk menyelidiki arti yang dalam “dari yang ada” kerap kali dalam usia remaja manusia merasa dalam dirinya sendiriang paling pribadi suatu dorongan yang menurut Sokrates, telah didengarnya di bawah langit Delphi : “Kenalilah dirimu sendiri”. Dari sinilah yang harus di pahami bahwa manusia sebagai suatu habitat yang bisa menembus ruang yang ada di dunia, apalagi hanya dalam konteks berfikir dalam permainan logika untuk menghasilkan suatu argument dan keputasan yang begitu luar biasa.

Tetapi demokrasi di Negara ini menuntut kita berfikir cepat, memakai logika yang sederhana, dengan segala hal yang praktis sehingga tidak adanya suatu proses kebijkan yang luar biasa ke masa yang akan datang untuk manfaat bersama. Kita tidak perlu selalu menyalahkan pemerintah harusnya kita sebagai manusia apakah sudah mempunyai logika yang tidak kecil sehingga nanti kalau bisa menjadi pemimpin tidak lagi memakai suatu kebijakan yang di keluarkan oleh logika-logika dan konsep yang melukai hati masyarakat bangsa ini. Pemerintah manusia, masyarakat juga manusia serta di berikan akal dan pikiran oleh yang kuasa seluas alam semesta secara ranah berfikirnya. Maka dari itu kalau tidak di manfaatkan maka seharusnya di pertanyakan kembali bahwa untuk apa ada manusia kalau bertindak tidak melalui ranah berfikir dengan permainan logika yang besar bukan logika Tuyul atau logika yang kecil.

Pemikiran yang di bangun oleh para pengambil kebijakan pada saat ini masi terbilang konsumtif individualistik, dikarenakan dalam proses menuju pada suatu kebijkan masi mengeksistensikan dalam golongan kepentingan-kepentingan yang diutamakan maka tidak adanya suatu kepentingan yang menguntungkan semua lapisan masyarakat. Siap atau tidaknya suatu fatwa kebijakan itu tetap harus di hargai tetapi memang sebelum mengelurkan suatu kebijakan harus adanya pematangan berfikir melalui logika yang rasional bukan logika yang pragmatis, logika sentralistis dan logika yang dangkal.

Salah satu contoh yang baru-baru ini menjadi pemberitaan mengenai Sabda Sultan Yogyakarta yang mengandung banyak kontraversi mengenai suatu sabda yang nanti menjadi suatu kebijakan. Perubahan serta penghapusan gelar Sultan. Gelar Sultan yang sepanjang kereta api Matarmaja yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah mengalami perubahan dan penghapusan. lalu kemudian penulisan dan pengucapan Buwono menjadi Bawono, Kaping Sedoso menjadi Kaping Sepuluh dan pengapusan kata Kalifatullah. Selain perubahan gelar, ada pengubahan perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Dan yang terakhir adalah penyempurnaan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Nah apakah ini di sebut dengan suatu permainan kebijkan serta logika yang di pakai untuk suatu keputusan yang hanya mengundang kontraversi dalam kebijakan tersebut atau hanya logika yang hanya memmentingkan Sultan semata. Waullahualam bissawaab

Jadi pemimpin sehendaknya mengeluarkan suatu keputusan tidak harus berfikir secara individualistik akan tetapi seharusnya mengeluarkan suatu kebijakan/keputusan yang benar-benar sudah berproses dalam logika yang matang tidak memakai logika tuyul atau logika sederhana dan kecil, sehingga yang di keluarkan suatu keputusan tidak menuai suatu kontraversi dari berbagai pihak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline