Manusia merupakan makhluk paling sempurna, selayaknya Cak Nun pernah menjelaskan didalam bukunya yang berjudul Demokrasi Laa Roiba Fiih mengibaratkan Manusia sebagai 'Raja' bagi dirinya sendiri, manusia tinggal memilih siapa yang akan menjadi Perdana Mentri-nya. Malaikat-kah? Atau Iblis-kah?
Dengan akal-nya seharusnya manusia menemukan sebuah etika, seperti Romo Magnis Suseno jelaskan dalam bukunya yang berjudul Etika Politik bahwa akal adalah prinsip dasar yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Sehingga etika menjadi pedoman kemakmuran antar makhluk hidup yang dibangun atas keselarasan, keadilan, dan rasa respect antar sesama sehingga sudah selayaknya etika dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia.
Namun kini, seolah banyak manusia menjadi penyandang tuna-etika, sehingga membuat manusia berbuat melanggar kaidah/prosedural hukum yang berlaku. Padahal hukum diciptakan sebagai control social bagi masyarakatnya sehingga lambat laun tuna-etika akan menjadi bencana kemanusiaan dalam suatu organisasi.
Pragmatisme politik pun tidak dipermasalahkan dalam suatu dinamika kehidupan oranisasi, karena pada dasarnya pragmatisme lahir dari sebuah gagasan/keyakinan dan cita-cita untuk kepentingan manusia. Lalu, yang menjadi masalah ketika pragmatisme tersebut dicapai dengan hal yang melanggar garis aturan baku sehingga pada akhirnya banyak dari kita yang terjebak pada ajaran Niccolo Machivelli, yakni terjadinya "the end justified the means!", yaitu menghalalkan tujuan dengan segala cara.
Sebagai penutup, bagi siapapun yang masih terjajah, entah oleh PP IPM, PW IPM, PD IPM atau oleh siapapun. Bolehlah mendahulukan hak sebelum kewajiban. Tapi bagi yang sudah bisa hidup nyaman, apalagi sudah merasa bebas berbuat apa saja, sebaiknya mendahulukan kewajiban, sebelum menuntut hak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H