Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Perpustakaan Pangkalan Ojek

Diperbarui: 18 Juni 2015   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

FENOMENA PERPUSTAKAAN PANGKALAN OJEK

Baru-baru ini media televisi telah memberitakan adanya pangkalan ojek dengan suasana yang tak biasa. Biasanya pangkalan ojek selalu identik dengan tongkrongan para sopirnya dengan ditemani oleh secangkir kopi, pisang goreng, rokok, dan main kartu remi atau domino. Hal itu mereka lakukan untuk mengisi kekosongan sambil menunggu penumpang yang akan mempergunakan jasa mereka. Memang hal yang demikian sesuatu yang sia-sia. Akan tetapi, tidak untuk pangkalan ojek di sudut kota Bandung. Apa yang menjadikan pangkalan tersebut menjadi tak biasa? Mungkin suasana yang ada di pangkalan ojek kota kembang, Bandung menjadi cerminan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang berperadaban. Selain itu, fenomena tersebut dapat merekonstruksi paradigma kebanyakan masyarakat Indonesia akan pentingnya sebuah ilmu dan pendidikan. Tambahan pula, menyadarkan para wakil rakyat, baik yang masih calon maupunmenjabat akan sakralnya pemerataan kualitas pendidikan bagi masyarakat Indonesia tanpa adanya diskriminasi.

Membangun Indonesia Membaca

Pangkalan ojek yang tak biasa itu ialah adanya perpustakaan mini di dalamnya. Sebuah plakat yang bertuliskan “Ojek Pintar” dengan deretan beberapa buku dari berbagai macam jenisnya yang ditata secara rapi di dalam rak mini menjadi suatu pemandangan yang luar biasa serta berbeda dengan kondisi pangkalan ojek pada umumnya. Adanya perpustakaan mini di area pangkalan ojek inilah yang menjadi fenomena tak biasa yang hidup di tengah hingar-bingar hedonisme masyarakat Indonesia.

Zaman semakin berubah hingga dampaknya mampu membius masyarakat dunia, tak terkecuali masyarakat Indonesia menyelami dimensi komsumtif dan instan. Zaman yang selalu diukur oleh besar-kecilnya kekuatan modal untuk membangun suatu kekuasaan tanpa mempertimbangkan transendensi kehidupan manusia. Masyarakat mulai membangun kerangka berpikirnya terhadap eksistensi kehidupan dan dunia yang cenderung kapital, sehingga menjadikan mereka secara tak sadar sebagai pemuja materi. Manusia mulai mendewakan uang hingga ia menjalani roda kehidupan ini digerakkan oleh uang. Bukan mereka yang menggerakkan uang untuk meningkatkan stabilisitas kehidupan dunia ke arah yang substantif. Padahal prilaku yang seperti itu tanpa disadari telah mengebiri esensialitas kedirian manusia sebagai makhluk individu yang berpotensi dan sosial.

Uang telah menjadi primadona bagi masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Kesejahteraan hidup atau kualitas hidup selalu dilihat dari seberapa banyak uang dikantong mereka, sehingga mereka berlomba-lomba merebut hedonisasi dunia untuk memenuhi kepuasan diri ataupun golongan yang menjadi suatu keinginan yang diciptakan dari pikiran mereka sendiri. Bukan sebuah ilmu, pengalaman, atau pendidikan yang menjadi tolak ukur akan kualitas hidup manusia bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal itu telah mengakibatkan mandegnya kreativitas, inovasi, serta proses berpikir produktif mereka sebagai suatu upaya pengembangan dan pengaktualisasian potensi manusiawinya. Kalau sudah seperti itu yang terjadi, maka peradaban suatu bangsa akan hancur. Bahkan, bisa musnah di atas peredaran bumi manusia, sehingga matilah perjalanan sejarah suatu bangsa.

Pupusnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari budaya maupun tradisi yang dibangun oleh masyarakatnya. Kunci suatu peradaban bangsa adalah pendidikan. Pendidikan selayaknya harus menjadi suatu budaya yang sangat sakral bagi kehidupan suatu bangsa. Pendidikan tersebut mampu tumbuh-kembang di dalam pikiran masyarakat Indonesia secara utuh. Melalui pendidikanlah dapat menciptakan kehidupan bangsa yang cerdas. Oleh karena itu, dalam mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang cerdas sebagaimana tujuan kemerdekaan Indonesia yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pendidikan harus membangun sebuah budaya yang produktif dan cerdas untuk seluruh masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah budaya membaca.

Pendidikan tidak selalu identik dengan gedung sekolah, kampus, dan pesantren yang memang di dalamnya banyak bermacam jenis buku atau ada perpustakaannya. Pendidikan adalah lingkungan kehidupan bagi manusia untuk menumbuhkembangkan segala potensi manusiawinya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang hakiki. Oleh sebab itu, pendidikan dapat terbangun dari berbagai macam jenis lingkungan, seperti halnya lingkungan pangkalan ojek, terminal, stasiun, pasar, alun-alun, rumah sakit, rumah tahanan (rutan), bandara, dan tempat-umpat umu lainnya dengan cara memberikan fasilitas berupa perpustakaan mini bagi masyarakat setempat. Bisa juga berupa perpustakaan keliling yang saat ini masih ada, atau membangun perpustakaan mini di tengah desa, sehingga masyarakat pedesaan juga mulai membangun budaya membaca, sehingga berawal dari itu mereka mulai melek pentingnya pendidikan bagi kehidupannya dan anak-cucunya kelak.

Adanya budaya membaca di tiap sudut kehidupan masyarakat Indonesia akan mampu membangun peradaban bangsa yang produktif dari masyarakatnya sendiri, Selain itu, membaca secara perlahan-lahan akan memperbaiki kerangka berpikir masyarakat Indonesia tentang pentingnya suatu ilmu dan pendidikan di dalam kehidupannya, sehingga secara sadar mereka akan memposisikan uang tidak lagi menjadi dewa, tetapi hanya sebata alat bukan suatu tujuan hidup yang sebenarnya. Budaya membaca ini sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia guna mewujudkan Indonesia membaca. Berawal dari membaca buku akan terbangun suatu peradaban bangsa yang modern serta produktif. Perpustakaan mini di pangkalan ojek diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia, khususnya para pemimpin bangsa ini untuk lebih memperhatikan atau memperdulikan kualitas pendidikan bangsa secara adil dan merata.

Urgensi Membaca untuk Lapisan Masyarakat

Membaca adalah suatu proses kehidupan. Membaca adalah belajar bukan sesuatu yang dibentuk secara instan. Artinya, membaca merupakan suatu prilaku yang terbentuk dari sebuah kebiasaan untuk konsisten dalam menapaki suatu proses di dalam dimensi kehidupan manusia. Proses tersebut menjadi poin penting dalam prilaku membaca karena sejatinya hidup adalah sebuah proses bukan suatu yang instan. Hal ini harus menjadi cerminan seluruh elemen masyarakat Indonesia, seperti guru, praktisi, orang tua, pelajar, petani, buruh atau kaum proletar, birokrat, apalagi caleg.

Membaca merupakan suatu pengalaman yang tak ternilai harganya. Membaca adalah suatu upaya untuk membunuh kebodohan dan menghidupkan kecerdasan di atas panggung peradaban bangsa. Membaca tidak hanya sebatas tekstual saja, melainkan juga kontekstual seperti membaca fenomena kehidupan yang sedang terjadi. Adanya membaca orang akan mengetahui akan bertindak apa dan harus bagaimana ketika menghadapi suatu persoalan hidup. Membaca juga akan membuka cakrawala pengetahuan masyarakat seluas-luasnya. Jadi, seharusnya di dalam pemilu 2014 ini para calon pemimpin rakyat harus memprioritaskan pendidikan masyarakat dan memiliki langkah kerja yang visioner guna membangun bangsa yang berperadaban. Bukan malah berpikir bagaimana dapat memperkaya diri dan mengembalikan modal yang dipakai sewaktu kampanye.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline