Lihat ke Halaman Asli

Be Healthy, Be Happy!

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13300483081946582577

[caption id="attachment_163052" align="aligncenter" width="640" caption="Be Healthy Be Happy!"][/caption] Roswitha Ndraha - Waktu si sulung kami berusia 10 tahun, kami baru menyadari bahwa tubuhnya membesar hampir tidak terkendali. Dalam waktu singkat beratnya lebih 65 kilogram. Baju-bajunya tidak kalah besar dari ayahnya. Waktu itulah kami seringkali cerewet, menyuruhnya diet. Josephus tidak peduli. Dia makan bisa 3-4 kali sehari, tidak makan sayur, malas olahraga, tidur di atas pukul 11 malam. Karena ingin menghindari konflik, akhirnya kami membiarkan saja kondisi itu. Tapi tentu saja tidak sehat. Kami berdua berdiskusi bagaimana menolong anak kami. Ia memang sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga di satu sisi bisa dimaklumi. Tiba-tiba Wita dapat ide, yang muncul ketika di Yayasan Pelikan kami sedang membahas pentingnya faktor predisposisi dalam pembentukan kepribadian anak. Saat sedang ngobrol di meja makan Wita teringat faktor ini. Maka, Wita bilang pada anak-anak, “Mama rasa, kita perlu memperhatikan pola makan. Bukan semata-mata untuk kita. Tetapi untuk keturunan kita, anak-cucu kita.” “Apa sih, maksud Mama?” tanya Jo yang merasa disindir mamanya. “Begini, lho Jo. Semua yang berlebihan tentu saja ada efeknya, termasuk jika berat badan kita berlebihan. Untuk anak-anak, obesitas mungkin tidak terasa pengaruhnya, kecuali anak itu jadi sukar bergerak. Kamu sih masih oke, berat badan kamu hanya kelebihan 7 kilo. Tetapi lama-lama, setelah dia dewasa, mulai ada penyakit yang disebabkan oleh pola makan buruk di masa kecil.” “Misalnya?” tanya Moze. “Obesitas mempengaruhi kesehatan jantung, itu yang terutama. Apalagi kalau jarang olahraga, duduk melulu main game. Selain jantung, ada beberapa gejala lain yang menyertai, misalnya malas, sering ngantuk. Itu kan membuat pikiran tidak kreatif, maunya tidur. Aduh…nggak enak deh.” “Bayangkan saja,” Wita melanjutkan, “kalau kamu kawin dan punya anak nantinya. Kasihan deh anak kamu punya bapak yang penyakitan. Tentu sebagian uang yang kamu dapat akan kamu gunakan untuk membiayai penyakitmu. Itu kan mengurangi jatah anak-istri kamu. Nanti anakmu minta dibelikan sepatu, ternyata uangnya sudah terpakai untuk beli obat.” Josephus tidak menjawab. Nampaknya dia berpikir, karena sejak itu cara makannya berubah. Pelan-pelan berat badannya menurun dan bentuk tubuhnya menjadi seimbang. Belakangan ini, di usianya yang remaja, Josephus memelihara olahraga, terutama fitness, dan makanan yang sehat. Dia juga sering memasak makanannya sendiri. Tahu, Tapi Tidak Mampu Orang tua umumnya mengerti pentingnya kesehatan tubuh dan tahu cara memeliharanya, tetapi tidak mampu melakukannya dengan berbagai alasan. Ketika anak kecil, rasanya mudah mengajak mereka olahraga. Semua anak suka bergerak, berlarian, berenang. Kadang-kadang orang dewasa yang berteriak, “Jangan lari-lari, nanti jatuh!” Anak-anak menunggu dengan sabar waktu luang orang tuanya, saat mereka diajak jalan, ke swimming pool atau aktifitas alam yang lain. Seringkali orang tua yang tidak punya waktu. Saya ingat waktu Moze kecil. Dia mengajak saya berenang, sementara saya merasa sayang meninggalkan kesibukan dapur hanya untuk "sekedar" memenuhi keinginan anak saya. Setelah mereka remaja, saya menyesal, karena di masa anak remaja sangat sulit mengajak mereka melakukan halk-hal yang dulu mereka sukai. Anak remaja lebih suka melakukan apa yang menyenangkan, ketimbang apa yang berguna bagi mereka. Beruntunglah kita yang masih punya anak kecil. Untuk melatih mereka kita hanya perlu “melawan” diri sendiri, mengatur aktifitas dan menyediakan waktu untuk mereka. Setelah anak remaja, kita perlu melatih dua orang: diri kita dan anak kita. Tetapi, membayangkan bahwa anak-anak akan melihat teladan baik dari orangtuanya, tentu saja akan membangkitkan semangat kita. Selain olahraga, tantangan lain yang dihadapi orang tua adalah membiasakan anak makan makanan sehat, terutama sayur dan buah. Selain sehat, makanan yang dikonsumsi anak-anak juga perlu seimbang gizinya. Jika anak-anak menunjukkan gejala makan yang berlebihan, perlu melibatkan ahli gizi untuk mengatur makanan mereka. Rekreasi Hidup yang sehat bukan saja menyangkut aktifitas fisik, tetapi juga keseimbangan emosi dan spiritual. Saya sangat kagum kepada Allah yang memberikan waktu istirahat kepada diri-Nya sendiri. Siapakah kita yang bisa melebihi Allah sehingga tidak punya waktu teduh bagi jiwa kita? Usai menciptakan bumi dan segala isinya, Allah beristirahat. Dia refreshing, jalan-jalan di taman, ngobrol bersama Adam. Dengan sukacita Allah melihat bahwa segala yang dilakukan-Nya itu amat sangat baik adanya. Istirahat dibutuhkan untuk menikmati hasil pekerjaan kita. Jika kita menyediakan waktu teduh dan berefleksi, kita akan menemukan apakah kita puas dengan hasil kerja seminggu yang sudah lalu. Kepuasan atas pekerjaan akan memberikan semangat baru pada minggu kerja berikutnya. Rekreasi penting untuk membangun relasi yang baik dengan keluarga. Alangkah senangnya melihat keriangan anak-anak serta kehangatan yang terpancar dari wajah pasangan kita. Hilang sudah jerih lelah dan tekanan kerja. Tidak heran, para ahli menemukan bahwa keintiman keluarga akan mengurangi stress dalam pekerjaan. Perhatian yang sepenuhnya tertuju pada keluarga memberikan kekuatan untuk beradaptasi dengan tantangan. Untuk memperjuangkan hidup yang sehat diperlukan keseimbangan yang konsisten. Dunia yang kita tinggali sekarang ini sudah tidak ideal memperlakukan penghuninya. Setiap hari kita dihadapkan dengan kekerasan, cuaca yang ekstrem, virus baru yang belum ada obatnya, dan lain-lain. Semua memerlukan kesehatan mental dan fisik yang prima untuk menghadapinya. Bagaimana Anda melatih anak-anak untuk masa depan dengan tantangan yang pasti jauh lebih besar? Mulailah dengan memelihara keseimbangan dalam keluarga kita sendiri. Anak-anak akan melihat dan mewarisinya. Happy Parenting! Roswitha Ndraha Sumber foto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline