[caption id="attachment_121439" align="aligncenter" width="400" caption="Ill. Google"][/caption]
By. Roswitha Ndraha ***
Anak-anak umumnya lebih takut menghadapi perpisahan orang tua daripada kematian. Mereka akan merasa diabaikan, kehilangan, ditinggalkan, dikhianati, kesendirian, kesepian. Ini perasaan yang hampir tidak tertanggungkan oleh siapa pun.
Tiga tahun lalu Moze untuk pertama kali kami biarkan mengisi formulir Data Murid di hari pertamanya di kelas enam SD.
Entah dengan tujuan apa, sekolah meminta orang tua mengisi kembali Data Murid. Salah satu item-nya adalah "status pernikahan orang tua". Karena tidak menyangka ada item tersebut, saya mengizinkan Moze mengisi sendiri Data Murid yang diletakkan guru di mejanya. Dia men-centang bagian-bagian seperti: jenis kelamin, status anak (kandung atau angkat), dsb. Tetapi di kolom "status pernikahan orang tua" ada pilihan: menikah, berpisah, bercerai. Moze menghitamkan kotak kecil di depan kata "menikah".
"Lho, mengapa tidak centang saja?" tanya saya.
"Ini supaya lebih jelas, Ma, " jawab Moze, "aku mau orang tahu, papa-mamaku menikah; tidak berpisah dan tidak bercerai!"
Dahan yang Patah
Dalam pekerjaan kami sebagai konselor di Pelikan, kami bertemu dengan puluhan pasangan yang sedang dalam kondisi hendak bercerai. Alasannya macam-macam, suami atau istri punya affair, kondisi ekonomi, kekerasan, dsb. Mereka mencoba bertahyan meski keadaan pernikahan sedang babak belur. Dua alasan utama bertahan adalah: dilarang agama dan faktor anak-anak. Sebagian lain karena faktor ekonomi dan status sosial.
Anak-anak adalah pihak yang paling dirugikan dengan perpisahan atau perceraian orang tua. Mereka mengalami kehancuran yang sulit dipulihkan, seperti dahan yang patah, hampir tidak mungkin kembali utuh seperti sedia kala. Anak-anak umumnya lebih takut menghadapi perpisahan orang tua daripada kematian. Mereka akan merasa diabaikan, kehilangan, ditinggalkan, dikhianati, kesendirian, kesepian. Ini perasaan yang hampir tidak tertanggungkan oleh siapa pun.