Lihat ke Halaman Asli

Bertahanlah...

Diperbarui: 17 Juli 2023   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dok. Pribadi. Muka anaknya saya blur, itu privasi.


Sudah hampir satu bulan saya di Jakarta karena urusan kerja, biasanya kalau saya cari makan malam saya tinggal jalan kaki  kurang lebih 200 meter dari hotel yang saya tinggal. Itu warung makan yang ada dipinggir jalan dan tidak mewah.

Di sepanjang jalan banyak berbagai hal yang saya lihat, tidak lain adalah orang-orang yang berusaha bertahan hidup dan melakukan berbagai pekerjaan untuk bisa membeli makan. Mulai dari pengamen dari usia tua sampai anak-anak muda bahkan anak-anak dibawah umur pun ada.

Kadang hati saya menangis melihat itu. Setiap saya makan selalu ada anak-anak yang datang menghampiri dan menawarkan Tisu kering untuk dibeli, "Tisu kak, beli kak, sepuluh ribu kak, belum makan kak". " Kata seorang anak".

Saya diam dan melambaikan tangan dengan maksud untuk tidak membeli tetapi saya tetap memberikan uang kepada mereka. Bukan karena saya banyak uang. itupun saya beri kadang dua ribu kadang Lima ribu tidak lebih dari itu. Dan itu setiap malam terjadi ketika saya makan malam, dengan anak-anak yang berbeda.  

Tapi ada satu hal yang tidak  bisa saya lupakan ketika saya makan malam terakhir di Jakarta bersama rekan kerja, seorang anak perempuan umur 9 tahun dengan muka yang lesu, mata yang sayu, rambut kocar kacir, menawarkan tisu untuk dibeli  sambil berkata " Om, tante, beli tisu, sepuluh ribu satu, saya belum makan". 

Saya diam sejenak dan mengatakan kepadanya ayo makan dulu. Awalnya dia menolak, tidak mau makan karena hanya akan membuang waktunya untuk  menjual tisu. Tetapi saya bujuk dan akhirnya dia mau makan tetapi dengan syarat, selesai makan harus dibeli tisunya oleh saya. Saya iyakan yang penting dia makan, dia duduk sejenak dikursi dekat meja makan sambil menunggu makannya untuk dihidangkan dan makan bersama kami. 

Tiba-tiba dia berdiri dan keluar dari tempat makan, saya bilang mau kemana tapi tidak dijawab. Tak lama dia datang lagi dan duduk dikursi, saya tanya kamu dari mana? Saya memberi uang sama nenek  itu, "jawabnya". Sejenak aku berhenti makan dan memandang dia sambil berkata " kenapa kamu memberi nenek itu, padahal kamu juga butuh uang". Nenek itu  lebih butuh daripada aku, makanya aku berikan sama nenek itu dua ribu rupiah, "jawabnya'. Saya diam dan tak mampu berkata-kata.

Selesai makan, saya penuhi janji saya samanya bahwa akan membeli tisunya. Dan ternyata tisunya 4 bungkus lagi dan saya beli dengan harga empat puluh ribu rupiah. Setelah saya beli dan memberinya uang, tisu yang sudah ada ditangan saya, kukembalikan padanya dan mengatakan padanya, tisu ini kamu jual lagi ya, ini tisu saya tapi jual lagi dan uangnya nanti kalau sudah laku tabung saja. 

Kami Pisah dan saling membelakangi karena berbeda arah jalan. Dari belakang saya memperhatikan dia, dan dia terus berjalan dari warung yang satu kewarung yang lain menawarkan tisunya untuk dibeli.

Setelah beberapa hari pulang  dari Jakarta, saya mengingatnya dia adalah Malaikat kecil Tuhan yang mengingatkan tentang arti kesabaran, ketulusan, keikhlasan dan mengajari bahwa untuk mencapai segala sesuatu itu ada syaratnya yaitu tetap bertahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline