Lihat ke Halaman Asli

Cerita Ulang

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua Tak Lagi Sama

Hai, perkenalkan namaku Nesa. Aku mempunyai teman masa kecil bernama Nathanael. Dia adalah satu-satunya teman yang dekat denganku saat kami masih di sebuah TK di Surakarta. Sering aku berusaha mengingat pertemanan kami saat itu. Dia berambut hampir botak, kulitnya kuning langsat, dia tak begitu tinggi, mungkin tak lebih tinggi dariku. Keluarga kami bisa dibilang sangat dekat, karna kakak Nathanael, Felis, adalah teman kakakku. Nathanael adalah anak seorang pilot, bisa ditebak bahwa dia ada di dalam keluarga yang berada, namun dalam ingatanku, dia bukanlah anak yang sombong. Rumah Nathanael sangat luas dengan pagar warna coklat yang menjulang tinggi dan tertutup dari luar. Sering keluargaku berkunjung ke rumah Nathanael, sekedar untuk berkunjung dan membiarkan kami, para anak-anak, bermain bersama.

Hari ini kami belajar matematika. Berhitung satu ditambah tiga hingga limabelas dikali lima. Kami memiliki tugas dari guru kami, Ibu Sri namanya. Beliau tegas, namun sebenarnya sangat baik. Hari itu kami mempunyai pekerjaan rumah yang sebelumnya telah disiapkan oleh Ibu Sri. Ketika aku membuka tasku, tak kutemukan buku matematika milikku yang bersampul merah muda di dalam tasku yang berwarna senada. Aku mulai panik, sementara Ibu Sri berjalan memutar untuk mengecek tugas kami, semakin dekat ke arahku. Dengan cukup panik, maklum, usiaku saat itu belum genap 7 tahun, aku berkata pada Ibu Sri bahwa aku lupa membawa buku matematikaku. Beliau menasihatiku, kemudian menyuruhku duduk di pojok kelas, 'kursi refleksi', itu yang biasa kami sebut. Aku malu dan sedih. Kemudian tiba-tiba Nathanael duduk disampingku dan tersenyum polos menunjukkan giginya yang tidak utuh. Ketika aku bertanya mengapa dia juga duduk disini, dia menjawab bahwa dia mengatakan pada Ibu Sri bahwa dia juga meninggalkan bukunya, sekalipun dia membawa buku matematika miliknya, karna dia ingin menemaniku sebagai temannya. Sepulang sekolah, aku menceritakan kejadian ini pada mama. Mama berkata bahwa Nathanael adalah sahabat yang sangat baik.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku memutuskan untuk bermain ayunan bersama Nathanael sambil menunggu orang tuaku datang menjemputku. Ketika turun dari ayunan, secara tiba-tiba, aku terpeleset. Kakaku sedikit terluka di bagian lutut, hingga lututku terasa sakit saat ditekuk. Nathanael mengantarku ke ruang UKS hingga Ibu Tari bisa mengobati kakiku. Setiap hari kami bermain bersama. Permainan kesukaan kami adalah ayunan dan petak umpet. Nathanael adalah sahabat terbaikku di TK.

Suatu hari, aku mendapat kabar dari Mamaku, kabar yang mengejutkan untuk seorang gadis kecil yang tak banyak bicara dan tak banyak bergaul sepertiku. Ya, kabar buruk ini mengenai satu-satunya sahabat yang aku miliki. Nathanael. Mamaku berkata bahwa keluarga Nathanael akan berpindah ke Surabaya pada akhir tahun pelajaran. Mereka berpindah ke Surabaya karena ayah Nathanel dipindah tugaskan. Aku sangat sedih.

9 Tahun sudah sejak terakhir kali aku bertemu dengan Nathanael. Sebagian besar ingatanku tentang Nathanael telah pudar. Bukan karena aku ingin melupakan sahabatku tersebut, namun karena proses kedewasaan yang telah aku lalui dan jangka waktu yang cukup lama. Bahkan wajahnya pun aku sudah tak dapat mengingatnya dengan jelas.

Sepulang berbelanja, mamaku memberitahuku bahwa beliau bertemu dengan Mama dari Nathanael, Tante Santi, saat sedang berjalan-jalan bersama Kak Felis. Mamaku memberitahuku nomor telepon Nathanael, dan berkata bahwa dia telah memberikan juga nomor teleponku pada Tante Santi. Mama berkaya bahwa Nathanael sekarang sudah kembali ke Surakarta dan bersekolah di Regina Pacis. Mamaku menyuruhku menghubungi Nathanael, namun aku agak canggung karena sudah sekian lama kami tak bertemu. Namun, sebelum aku menghubunginya, Nathanael sudah menghubungiku terlebih dahulu. Kami sedikit bercerita, namung tak lagi banyak yang dapat kami lakukan, seperti dulu saat kami masih anak-anak. aku menyadari bahwa semakin dewasa, kami berkembang. Berubah. Tak lagi sama seperti dulu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline