Besok tanggal merah. Tujuh belas Agustus. Tanggal merah artinya hari libur. Tapi besok pagi, kami (para siswa) tidak boleh lesap dalam tidur.
Kami harus bangun pagi untuk ikut upacara bendera. Kata guru: sebagai bentuk mengenang jasa pahlawan. Padahal menurutku, mengenang kepatriotan pahlawan dengan membaca sejarah.
Para guru (selain guru sejarah) belum tentu membaca buku sejarah. Tentu saja tak akan sempat, karena mereka sibuk dengan berkas-berkas.
Sementara para siswa diberi bejibun tugas yang menurutku kurang berguna. Aku malas mengerjakan tetek bengek itu, karena menyita waktuku membaca buku.
Malam ini aku lihat pesantren lengang. Lampu-lampu seluruh asrama sudah dipadamkan, begitu pun lampu gedung sekolah, masjid, kantor, kantin, koperasi, balai tamu, dan gedung utama. Sekadar kamar mandi yang masih benderang.
***
Beberapa hari yang lalu, Sutarji (kawanku) ikut menarik pelatuk senapannya ke mobil yang di dalamnya duduk Jenderal Mallaby di dekat Jembatan Merah. Sayangnya aku tak ikut menembak Jenderal berwajah angkuh itu, karena sibuk saling tembak-menembak dengan tentara keparat.
"Tarno! Tarno! Ayo cepat keluar." Pintu rumahku diketuk keras. Andaikan aku telat keluar, tentu pintu yang sudah reot itu roboh. Rumah ini dan warga lainnya, sangat berbeda sekali dengan pemukiman di Surabaya pada masa depan.
Rumah zaman ini kecil, sekadar berdinding kayu dan beratap daun rumbai. Yang besar hanya rumah gubernur, residen, dan bangsawan.
"Ada apa Tarji?" Aku penasaran apa yang hendak dia katakan. Wajahnya tegang dan berbias amarah.