Lihat ke Halaman Asli

Al-Mawardi, Pemikir Muslim Pertama yang Menawarkan Konsep Kontrak Sosial

Diperbarui: 3 November 2019   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejauh kita mengamati, kebanyakan dari para pemikir islam menawarkan konsep pemerintahan islama yang bernuansa keyunanian namun dibalut dengan hukum syariat. Namun ketika kita melihat konsep pemikiran yang ditawarkan oleh al-mawardi, kita akan menemukan perbedaan disini.

Dalam teorinya, al-mawardi memberikan pemahaman tentang kontrak sosial, yang tidak dimiliki oleh pemikir islam sebelumnya maupun sezamannya. Bahkan para pemikir baratpun baru mengenalkan konsep seperti itu setelah 5 abad setelahnya.

Al-mawardi hidup dizaman abbasiyah yang terbilang cenderung tidak stabil bahkan dapat dikatakan endekati kehancuran, yaitu sekitar abad 10 akhir hingga pertengahan abad ke-11. Berbeda dengan kedua pendahulunya yaitu abu rabi dan al-farabi. 

Mengenai pemokiran pilitiknya sama seperti plato, aristoteles, dan abu-rabi ia berpendapat bahwa mabusia juga merupakan makhluk sosial, lalu ia memasukkan unsur-unsur agama dalam teorinya. 

Dikarenakan manusia adalah makhluk sosial tidak melepas kemungkinan bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing. Kelemahan manusia akan sesuatu menjadikan manusia terdorong untuk menyatukan diri membentuk suatu perkelompokan untuk saling membantu untuk memenuhi kebutuhan akan kelemahannya atau hajatnya tersebut. 

Jadi menurut al-mawardi asal musasal terbentuknya suatu negara adalah untuk memenuhi hajatnya masing-masing dan pemikiran mereka yang mengajari tentang bagaimana saling membantu dan tentang mengadakan ikatan satu sama lain. 

Al-mawardi juga menegaskan bahwa kepemimpinan atau kekhalifahan adalah suatu instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.

Selanjutnya mengenai konsep kontrak sosial, ia memilki gagasan yang menarik tentang itu, ia berpendapat bahwa seorang kepala negara dapat diberhentikan dari jabatannya apabila ia sudah tidak memilki kapasitas yang baik dijabatannya, atau ia tidak mampu untuk melaksanakan tugasnya, namun ia tidak menjelaskan mekanisme dari pergantian kepala negara tersebut. Ia juga membahas teori hubungan antara ahlul-hall wal al-aqd dan imam atau kepala negara merupakan hubungan antara dua pihak dari peserta kontrak sosial atau perjajnjian atas dasar sukarela. 

Suatu kontrak yang melahirkan hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak atas dasar timbal balik.oleh karena itu seorang kepala negara memiliki hak untuk ditaati oleh rakyatnya dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, dan sebaliknya ia juga memiliki kewajiban atas rakyatnya untuk memimpin mereka yang harus dituntaskannya sebagai bentuk timbal balik tersebut diatas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline