Dari awal aku sudah mengetahuinya.
Pagi hari. Walaupun sinar matahari pagi bagus untuk tulang, tetap saja silaunya yang menyelundup lewat celah-celah batang pohon membuatku kepanasan. Aku terus tertunduk sampai tepat seratus senti di sebelah telingaku, “Fokus, pandangan tetap ke depan!” kata seseorang, mengagetkanku, dan tentu, aku langsung menatap lurus-lurus ke depan.
Aku melihatnya. Ya, aku tak yakin memang, tapi sepertinya memang pemuda yang tengah berjalan mondar mandir di depan barisanku inilah yang tadi berteriak di sampingku. Dengan kantung dan mata mengantuknya; aku tahu dia kelelahan.
Maaf, sayang sekali, tapi aku tahu kamu hanya bersandiwara. Wajah pucatmu, aku ingin sekali mengatakan (kurasa) kamu yang benar-benar sakit ketika kamu malah berkata, “siapa yang sakit harap memisahkan diri.”
Kalau kamu membaca “surat cinta” yang memang diperintahkan untuk dibuat, dan, ya, aku menujukannya padamu, kuharap kamu juga tahu; aku orang yang sama. Aku ada dalam kalimat ini juga. Aku mungkin mau mencintaimu, Monsieur, tapi aku sudah mengetahuinya, pasti akan percuma.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H