Pernah, tepatnya hari ini, aku merasa berada bukan di tempat di mana seharusnya aku berada.
Aku membuka mata setelah alarm yang sebenarnya bukan milikku berteriak-teriak. Hampir tiap Selasa dan Kamis pagi. Setelah semalaman aku berusaha keras memejamkan mata, tepat pukul setengah enam pagi aku bangun. Baiklah, aku ampuni hari-hari kemarin, tapi bisakah untuk hari ini? Aku hanya ingin istirahat! Aku mencoba menutup mata kembali, namun, aku gagal.
Kukira aku telah terbiasa, tapi ternyata udara dingin di kamarku masih mampu menusuk-nusuk sampai tulang. Aku bersembunyi dalam selimut tebal dan masih mengutuk alarm sialan yang hampir memecahkan kaca jendela kamar-kamar di sebelahnya. Dalam sedikit kehangatan di balik selimut, entahlah, mataku yang belum mau menutup lagi menerawang jauh. Menuju serambi waktu ketika aku menginginkan berada di sini.
Ah. Bukan udara yang kukenal, tapi, ya, rasanya aku begitu merindukannya. Seperti mencuci bersih dinding-dinding dalam paru-paruku yang penuh polusi ibukota. Aku memejamkan mata menikmati angin yang menari-nari di wajahku. Mungkin aku salah, selama ini aku belum hidup; kurasa inilah hidup. Semua terasa ringan bak daun-daun kering yang terbang berputar-putar diajak angin. Aku bersandar di tembok bercat putih (sepertinya baru dicat kemarin) menunggu Papa selesai dengan urusannya. Aku memerhatikan tiap plat kendaraan yang lewat. Banyak plat ibukota, kemudian beberapa plat daerah ini, dan sisanya plat kendaraan kota-kota terdekat dari kota kecil ini.
Singkatnya, semua berubah. Bukan sesuatu yang kukenal. Semua baru.
Kamar baru.
Teman baru.
Lingkungan baru.
Hidup baru.
Manusia dengan jiwanya punya kewajiban untuk beradaptasi dengan tempat tinggalnya. Kurasa, aku telah melakukannya dengan baik. Iya, aku, bukan jiwaku.
Terhitung sudah seminggu aku benar-benar pindah ke sini. Sungguh hari yang berat, dengan segala perlengkapan-perlengkapan dan kesiapan mental tiap pagi aku harus bangun dan merasakan mual. Air sedingin es, udara terlalu mengiris, tubuh dan pikiranku mulai lelah, tapi yang paling menggangguku: aku sendirian sekarang. Andai impian-impianku ikut lelah dan pergi meninggalkanku, mungkin aku takkan sanggup duduk di sini untuk satu menit lagi.
Singkat cerita. Beberapa minggu berlalu. Aku telah mampu memahami tempatku berada kini. Dan, sekarang semua terasa menyenangkan. Iya, menyenangkan. Sebelum aku sadar, ternyata aku tak pernah mampu memahami tempatku berada kini. Aku masih di alam liar. Dan aku selalu di sana.
Kukira aku masih ingat benar pesan Mama ketika aku akan pergi: "Ramahlah. Baik-baiklah pada tiap orang. Karena, meski kamu orang paling ramah di dunia ini, akan selalu ada yang membencimu." Ya, bagaimana mungkin pembenci mampu melakukan tugasnya pada orang paling baik di dunia? Entahlah.
Semua orang baik; sebelum aku tahu di belakangku aku jadi topik yang menyenangkan untuk dibicarakan. Haruskah aku meninggalkan diriku sendiri demi dicintai orang lain?
Entahlah. Dunia keras. Dan aku tak boleh kalah kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H