Ternyata aku salah membayar tagihan rekening listrik dan rekening telepon hari ini. Coba kalau aku bayarnya lebih awal, pasti ndak akan kebagian antri yang panjang ini. Mana anak mau dijemput dari sekolah lagi, gerutu seorang ibu saat mengantri di salah satu kantor pos saat akan membayarkan rekening listriknya.
Pemandangan ini sudah menjadi hal yang biasa setiap tanggal 20 setiap bulannya. Baik kaum ibu dan kaum bapak yang berasal dari ekonomi kelas bawah, menengah dan atas akan turut meramaikan "pagelaran manusia berdiri" ini hanya untuk pembayaran tagihan telepon dan tagihan listrik. Ini seharusnya tidak lagi terjadi. Pembayaran rekening telepon dan listrik dapat dilakukan dengan berbagai cara, bayar di loket yang ditunjuk, bayar di kantor pos dan bayar lewat ATM demi mengantisipasi antrian yang panjang. Batas waktu pembayaran tagihanpun telah disosialisasikan oleh PLN dan TELKOM sebagai perusahaan penyedia jasa layanan listrik dan telepon setiap tanggal 20 setiap bulannya. Apabila pembayaran dilakukan lewat dari batas waktu tersebut, maka pemakai jasa layanan ini akan dikenakan denda sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan.
Pemahaman ini sudah seharusnya menjadi perhatian bagi para pemakai jasa layanan ini agar pembayaran dilakukan sebelum batas waktu berakhir demi mengantisipasi antrian panjang di hari terakhir. Akan tetapi "pagelaran manusia berdiri" sepertinya harus berlangsung setiap bulannya. Para pelakonnya sepertinya adalah orang-orang yang sama yang sepakat untuk melakukan ajang pagelaran ini setiap bulannya sebagai ritual "ngumpul".
Keunikan pagelaran ini terlihat ketika seorang ibu "tokoh utama" memulai adegan dengan kisahnya saat memasukkan anaknya ke salah satu PTN di negeri ini. Mahal ya uang sekolah sekarang, gimana mau sekolah anak-anak setinggi-tingginya kalau udah begini. Ibu yang lain mencoba menenangkan dan memberikan pengertian. Seorang bapak menimpali dari cara pandangnya. Ide cerita makin kaya dan diskusi semakin tajam tatkala para tokoh memainkan aksinya. Hingga akhirnya "pagelaran manusia berdiri" yang tanpa naskah dan sutradara ini meninggalkan kesan bagi para tokohnya sembari menunggu hingga nama demi nama dipanggil oleh petugas. Sisi lain dari pagelaran yang menunjukkan betapa masyarakat kita saat ini tidak punya wadah untuk "ngumpul" dan berdiskusi. Masyarakat kita saat ini lebih individualis dan sibuk dengan dunianya masing-masing.
Pagelaran ini seharusnya tidak terjadi. Tetapi sepertinya masyarakat kita masih lebih suka boros waktu daripada hemat waktu. Dengan kita mengantri pada tangggal 20 setiap bulannya. Kitalah mengirbankan banyak waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang lain. Masyarakat kita juga masih banyak yang gagap teknologi. Bukankah tersedianya berbagai jasa layanan pembayaran tagihan di era teknologi canggih semakin memudahkan akses pembayaran? Tapi pilihan inipun masih digunakan oleh beberapa orang saja.
Yang jelas pagelaran manusia berdiri di tanggal 20 setiap bulannya akan selalu menyisakan ceritanya masing-masing menurut pengalaman para tokohnya. Ada tiga hal yang bisa dipelajari dari pagelaran ini. Petama, membudayakan pembayaran tagihan sebelum batas waktunya tiba. Kedua, belajar menggunakan alat dan teknologi yang ada. Ketiga, mari membudayakan antri yang tertib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H