Para leluhur kami di Priangan sangat lazim menyeduh air panas mendidih ditabur daun teh atau terkadang serbuk yang halus berwarna coklat kehitaman kemudian kakek atau nenek kami menutupnya beberapa menit lanjut merekapun menyecapnya dikala telah hangat baru diseruput nikmat dengan suara sruput... sruput.. yang kini mengenangnya terasa romantis.
Berbeda dengan sebagian masyarakat Yogyakarta yang sempat penulis amati adalah kebiasaan induk semang kami meminum teh tubruk (daun dan ranting teh kering) dengan menyemplungkan beberapa potong gula batu terkadang kami di suguhi juga dengan ramah dan bangga atas kebudayaan minum teh dari turun temurun tanpa luntur oleh minuman instan yang berbentuk kotak, cup atau botol plastik yang di rancang secara memikat kita saksikan bersama sedemikian trendi sepuluh tahun belakangan ini.
Aki dan Emak Nini setiap pagi buta mereka memiliki budaya utama membuka sarapan dengan minum teh hangat menyambut udara dingin menyengat bahkan masih sering berkabut di seputar tatar Pasundan.
Sehingga bagi Emak Nini daun atau serbuk teh memang menjadi stok unggulan yang tidak pernah kosong di kelernya* sepanjang hayat mereka, sedang cemilan pelengkap beberapa potong singkong rebus atau bubuy* ubi dan pisang tanduk hasil tanaman di bagian sawah milik leluhur yang memang petani buhun*.
Ada rasa bungah yang menggumpal dan mengental saat penulis masuk dalam grup whats app Kompasiana Visit Pangalengan tetiba saja muncul tayangan dalam imajinasi seperti slide bergerak ringan melayang dengan kecepatan sedang memunculkan hamparan kebun teh hijau seluas mata memandang, batang -- batang kayu tua yang tegak berwibawa berfungsi sebagai penyisip kece' peneduh di beberapa hamparan tetumbuhan bernama pokok -- pokok teh, terbayang juga gerombolan para pemetik teh yang bertelekung khas selendang panjang yang dilipat melingkar hampir -- hampir saja menutup wajah bagian dahi dan mata sang pemetik.
Kain penutup sang pemetik berfungsi sebagai penghidar sengatan sang Surya tampak rerata telah lusuh dan usang karena digunakan berulang -- ulang di sorot lampu alam yang terik sepanjang ikhtiar pemetikan.
Titik Kumpul Gedung Sate -- Bandung
Jam 15.00 merupakan kesepakatan dan keputusan bersama bahwa kompasianer Jakarta menanti kompasianer Bandung berkumpul di Gedung Sate.
Berangsur satu demi satu kompasianer Bandung dari berbagai arah hadir di titik samping bekas kantor gubernur jenderal Belanda dahulu kala, diantara panas, debu, kemacetan lalu lintas dan semerawutnya pusat kota.
Adapun sebagian kompasianer Jakarta di pandu Mbak Muthi'ah mengisi waktu menunggu dengan cara kulineran, menuju museum geologi, museun pos dan menyaksikan hijaunya taman lansia.
Sungguh menakjubkan pada akhirnya dititik kumpul Gedung Sate peninggalan kokoh penjajah Belanda yang di bangun 27 Juli 1920maka Rabu 16 Agustus 2017 admin Kompasiana Jakarta Mas Rizki, Mbak Nindy dan Mbak Dewi dengan penuh kesabaran menanti juga menghimpun Kompasianer Bandung sehingga kami bisa berangkat dan masing -- masing berdoa mohon keselamatan pada-Nya.
Bismillahimajreha Wamursaha... inna Robbi wa ghafururrahiim.
Tujuh Belasan 2017 Yang Energik Bersama 4 BUMN