Lihat ke Halaman Asli

Intan Rosmadewi

TERVERIFIKASI

Pengajar

Bhineka Tunggal Ika Pada Secangkir Teh Rasa Nusantara

Diperbarui: 25 Agustus 2017   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pict atas:kompasiana; pict bawah :dok.pribadi

Para leluhur kami di Priangan sangat lazim menyeduh air panas mendidih  ditabur daun teh atau terkadang serbuk yang halus berwarna coklat kehitaman  kemudian kakek atau nenek kami  menutupnya beberapa menit lanjut  merekapun menyecapnya  dikala telah   hangat baru diseruput nikmat dengan suara sruput...  sruput.. yang kini mengenangnya  terasa romantis.

Berbeda dengan sebagian masyarakat Yogyakarta yang sempat penulis amati adalah kebiasaan induk semang kami meminum teh tubruk (daun dan ranting teh kering) dengan menyemplungkan beberapa potong  gula batu terkadang  kami di suguhi juga dengan ramah dan bangga atas kebudayaan minum teh dari turun temurun tanpa luntur oleh minuman instan yang berbentuk kotak,  cup atau botol plastik yang  di rancang secara memikat kita saksikan bersama   sedemikian  trendi sepuluh tahun belakangan ini.

Aki dan Emak Nini setiap pagi buta mereka memiliki  budaya utama membuka sarapan dengan minum teh hangat menyambut udara dingin menyengat bahkan  masih sering berkabut di seputar tatar Pasundan.

Sehingga bagi Emak Nini daun atau serbuk teh memang   menjadi stok unggulan yang tidak pernah kosong di kelernya*  sepanjang hayat mereka, sedang cemilan pelengkap beberapa potong  singkong rebus atau bubuy*  ubi dan pisang tanduk hasil tanaman di bagian sawah milik leluhur yang memang petani buhun*.

Kebun teh Malabar (pict:dok.pribadi)

kami berbahagia di kebun teh PT.PNVIII (pict: @rizky)

Ada rasa bungah yang menggumpal dan mengental  saat penulis masuk dalam grup whats app Kompasiana Visit Pangalengan tetiba saja  muncul tayangan dalam imajinasi  seperti slide bergerak ringan melayang dengan kecepatan sedang memunculkan hamparan kebun teh hijau seluas mata memandang, batang -- batang kayu tua yang tegak berwibawa berfungsi sebagai penyisip  kece' peneduh  di beberapa hamparan tetumbuhan bernama pokok -- pokok  teh, terbayang juga gerombolan para pemetik teh yang bertelekung  khas selendang panjang yang dilipat melingkar hampir -- hampir saja menutup wajah bagian dahi dan mata sang pemetik.

Kebun teh Malabar-Pangalengan

Kain penutup sang pemetik berfungsi sebagai  penghidar sengatan sang Surya tampak rerata telah lusuh dan usang  karena digunakan berulang -- ulang di sorot lampu alam yang terik sepanjang ikhtiar pemetikan.

Titik Kumpul Gedung Sate -- Bandung

Jam 15.00 merupakan kesepakatan  dan keputusan bersama bahwa kompasianer Jakarta menanti kompasianer   Bandung berkumpul di Gedung Sate.

Berangsur satu demi satu kompasianer Bandung dari berbagai arah  hadir  di titik samping bekas kantor gubernur jenderal Belanda dahulu kala, diantara panas, debu, kemacetan lalu lintas dan semerawutnya pusat kota.

Adapun sebagian kompasianer Jakarta  di pandu Mbak Muthi'ah mengisi waktu menunggu dengan cara kulineran, menuju museum geologi, museun pos dan menyaksikan hijaunya taman lansia.

Kebun teh Malabar (pict: @Boris)

Kebun teh Malabar (pict: @andrimastiyanto)

Sungguh menakjubkan pada akhirnya  dititik kumpul Gedung Sate peninggalan kokoh penjajah Belanda yang di bangun 27 Juli 1920maka Rabu  16 Agustus 2017  admin Kompasiana Jakarta Mas  Rizki, Mbak  Nindy dan Mbak  Dewi dengan penuh kesabaran menanti juga  menghimpun Kompasianer Bandung sehingga kami bisa berangkat dan masing -- masing berdoa mohon keselamatan pada-Nya.

Bismillahimajreha Wamursaha... inna Robbi wa ghafururrahiim.

Tujuh Belasan 2017  Yang Energik Bersama 4 BUMN

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline