Segala hal yang berlebihan akan menghasilkan hal yang tidak baik. Dalam Islam, segala sesuatu yang berlebihan itu disebut ghuluw. Islam mengajarkan pemeluknya untuk hidup dalam keseimbangan, untuk melakukan segala hal dan menyikapinya. Tentu, untuk masyarakat awam pasti perlu guru untuk mempelajari bagaimana menjalani hidup dengan konsep keseimbangan sesuai dengan ajaran Islam. Guru bisa dijadikan sebagai pilar atau patokan yang bisa dijadikan teladan oleh masyarakat yang akan mempelajari suatu ilmu tersebut. Guru ini yang dimaksud bisa jadi adalah seorang pemuka agama yang dianggap sebagai suri tauladan bagi jamaahnya.
Lantas, bagaimana apabila seseorang yang dianggap guru melakukan ghuluw?
Pasti tak asing lagi dengan istilah pedagang es teh yang lagi viral belakangan ini. Seorang pemuka agama dan juga merupakan utusan dari presiden, yang dianggap sebagai guru oleh masyarakat, kini lagi hangat diperbincangkan dan menimbulkan perdebatan karena sebuah ucapan yang dianggap sebagai "candaan". Dalam konteks ghuluw, sang pemuka agama ini melontarkan kalimat "candaan" kepada sang pedagang es teh yang melampaui batas kewajaran. Lontaran kalimat yang berbunyi, "Es teh mu jek okeh ra? Masih, yo kono didol g*bl*k (Es teh mu masih banyak tidak? Masih, ya sana dijual g*bl*k)," ujar sang pemuka agama. Sebuah "candaan" seharusnya menimbulkan tawa, bukan duka. Tapi, ratusan jamaah yang hadir terhibur dengan "candaan" tidak bermoral tersebut. Di sisi lain, kita tidak tahu hati sang pedagang es teh yang dilontari kalimat yang katanya hanya sebuah "candaan".
Apa dampak yang ditimbulkan dari "candaan" tersebut?
Dampak dari "candaan" yang berkonteks hinaan tersebut tidak hanya menciderai martabat pedagang es teh, tetapi juga pada sang pelontar. Persepsi masyarakat akan ajaran nilai-nilai agama akan semakin membuat bingung. Sebagai pemuka agama yang disegani, tentu seharusnya bisa mengontrol sikap karena perilaku yang dilakukan bisa jadi rujukan masyarakat untuk meniru hal yang berlebihan tersebut. Jika pemuka agama melakukan hal tersebut, masyarakat akan menganggap hal tersebut adalah hal yang normal sehingga menimbulkan penurunan kualitas moral.
Bukankah dari "candaan" tersebut pedagang es tehnya mendapatkan banyak benefit? Bukankah seharusnya pedagang es teh berterima kasih kepada sang pemuka agama atas "candaan" yang viral tersebut?
Menormalisasi tindakan yang merendahkan martabat orang lain bukanlah suatu tindakan yang benar. Meskipun dari "candaan" tersebut sang pedagang es teh berujung mendapatkan banyak rezeki dari pihak-pihak yang empati, seperti materi juga kepopuleran sesaat, dari segi moralitas jelas dianggap kurang sekali dalam sisi etika kepada sesama manusia. Dalam Islam sudah diajarkan bahwa menghargai dan menjaga martabat orang adalah prinsip yang diutamakan. Apabila tindakan tersebut dinormalisasi, ke depannya akan menciptakan pola pikir yang salah, di mana sebuah "candaan" bisa dilakukan tanpa batas meskipun itu nantinya merendahkan martabat orang lain.
Segala sesuatu yang berlebihan akan berdampak negatif. Pentingnya menjaga etika untuk menghormati siapa pun untuk menjaga martabat sesama manusia. Seorang pemuka agama yang merupakan panutan bagi masyarakat tentunya bukan hal yang mudah karena memiliki tanggung jawab yang besar. Harus selalu mengontrol setiap perbuatan dan ucapan sesuai dengan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari supaya tidak menimbulkan ghuluw. Sebuah "candaan" yang merendahkan martabat orang lain tidak hanya berdampak pada orang yang menjadi objeknya, tetapi juga pada perspektif masyarakat terhadap ajaran agama itu sendiri.
( Sumber :
https://banten.nu.or.id/syariah/larangan-sikap-berlebihan-dalam-islam-7W2F0