Pertanian konvesional mengharapkan untuk tanaman yang dibudidayakan dapat menghasilkan panen yang berlimpah, sedangkan didalam kearifan lokal praktek sistem pertanian nenek moyang kita dilakukan selaras dengan alam. Kearifan lokal (local knowledge) sering diartikan pengetahuan setempat dimana didalamnya yaitu pengetahuan serta strategi untuk menjawab berbagai permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup, pemenuhan kebutuhan pangan, dan strategi adaptasi masyarakat untuk menghadapi perubahan lingkungan alam dan sosial (2).
Maka dari situlah pertanian berkelanjutan berpijak pada kearifan lokal sebagai kepercayaan yang berdampak pada konservasi lingkungan. Salah satu contoh kearifan lokal adalah lakon wayang Dewi Sri. Mari kita cari tau lebih lanjut tentang lakon wayang Dewi Sri.
Yuk Mengenal Lakon Wayang Dewi Sri Boyong
Pertunjukan wayang dipegelarkan oleh seorang dalang dimana wayang tersebut diyakini oleh masyarakat memiliki simbol atau makna-makna tertentu. Selain sebagai pertunjukan untuk menghibur, lakon wayang menyampaikan makna mengenai berbagai ajaran kehidupan manusia. Salah satu lakon wayang yang menggambarkan kehidupan masyarakat dengan lingkungannya adalah Dewi Sri.
Lakon Dewi Sri dalam dunia pedalangan memiliki nama lain yaitu Sri Mulih, Sri Mantuk, Sri Boyong, Sri-Sadana. Hal ini mengisahkan bagaimana pada jaman dahulu rakyat sedang sengsara karena ditinggalkan oleh Dewi Sri, akhirnya mereka berusaha membawa Dewi Sri kembali ke kerajaan dengan maksud ingin menghentikan kesengsaraan dan penderitaan
Oleh karena itu arti nama mulih, mantuk, boyong dalam Bahasa Jawa yang berarti pulang menjadi harapan mereka untuk mengembalikan kemakmuran, kesuburan, dan keharmonisan tata kehidupan. Dewi Sri melambangkan kemakmuran, kesuburan, maupun kehidupan yang disimbolkan melalui tanaman padi.
Tokoh Dewi Sri memiliki kedudukan yang istimewa di kalangan masyarakat karena dijadikan spirit dalam memuliakan pangan sebagai indikasi kemakmuran rakyat. Dewi Sri menjadi simbolisasi tanaman padi dalam ritual upacara adat Mapag Sri sebagai bentuk penghormatan perempuan dan padi.
Pada upacara ini sebagai tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan untuk sebelum menanam padi dan menyambut panen padi (1). Ritual ini masih bertahan hingga sekarang karena dalam ritual ini terdapat makna tersirat teologis serta warisan leluhur yang diyakini relevan sepanjang zaman. Pada pelaksanaan ritual ini memiliki keunikan karena dilakukan oleh seluruh komunitas dan semua agama tanpa adanya konflik (4).
Lakon Dewi Sri Boyong Simbolisasi Ekosistem Pertanian
Lakon Sri Mulih (Dewi Sri Boyong) mengungkap makna simbolik mengenai ekosistem pertanian mencangkup (3)
- Petani sebagai penyangga pertanian di lambangkan tokoh Pandawa, Kresna, Baladewa dan rakyatnya
- Berbagai hama pertanian sebagai perusak tanaman digambarkan tokoh Nila Raksasa (ular), Tikus Binada (tikus), Celeng gemalung (celeng),
- Sarana penolak bala untuk mengusir hama digambarkan tokoh Garuda Winantya (burung), Merak Kasimpir (kayu wangi)
- Petunjuk dalam bertani di lambangkan tokoh Semar
- Ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan dilambangkan tokoh Dewi Sri
Tujuan dari tradisi pemujaan kepada Dewi Sri ini sebagai Dewi Padi adalah agar hasil panen baik dan berlimpah, dan diharapkan agar sawah terhindar dari segala mala petaka dan gangguan roh jahat (gagal panen). Dewi Sri ini sangat dihormati karena masyarakat berpandangan sebagai ibu personal layaknya figur seorang ibu yang memberikan restu, berkah, serta kemakmuran.