Peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) pada tanggal 20 Desember sudah lewat. Berbagai aktivitas di penghujung tahun itu banyak ditemui diantaranya berupa sambutan seremonial berbagai tokoh formal baik di pusat maupun di daerah.
Tidak terkecuali, wacana berkait peringatan hari yang bernuansa kemanusiaan, keperdulian terhadap sesama ini cukup mengemuka dipublikasikan melalui media. Beragam perspektif ditemui dalam setiap topik mengenai kesetiakawanan sosial tersebut. Efek kognitif atas tersebarnya informasi sangat terasa dimana-mana sehingga hal ini tidak boleh mandeg atau berhenti begitu usai peringatan dilakukan,
Jauh dari hal tersebut, sesungguhnya semangat kesetiakawanan ini harus tetap tumbuh berkembang dan tidak boleh luntur karena apabila dimaknai secara mendalam maka sikap-sikap toleransi dan kegotongroyongan terutama untuk mengangkat saudara-saudara kita yang sedang dilanda susah kiranya layak dilakukan bahkan ditingkatkan serta disesuaikan dengan kondisi realitas yang sedang terjadi, kapan saja dan dimanapun.
Sebagai salah satu contoh kita semua mengetahui betapa beratnya beban para korban tanah longsor dan banjir yang belum lama terjadi (akhir November 2017) di sejumlah tempat di tanah air tercinta ini.
Rumah-rumah warga yang hancur terkena longsoran, halaman dan sawah ladang maupun lahan tempat usaha serta rusaknya beberapa fasilitas pendukung mereka yang sudah tidak berfungsi optimal, berdampak terhadap menurunnya upaya mengais nafkah hidup keluarganya sehingga hal ini masih perlu mendapat perhatian bersama.
Kita memang patut bersyukur bahwa setiap kali terjadi peristiwa bencana alam yang tidak pernah diduga -- secara spontanitas banyak pihak membantu dan menolong para korban, baik di lingkungan pemerintah daerah dan komunitas relawan yang tersebar di berbagai lokasi. Ini menunjukkan bahwa kebersamaan dalam melangsungkan keperdulian sudah menjadikan ciri khas dan merupakan kebiasaan yang mentradisi, turun temurun.
Dalam kaitan dengan usaha rakyat, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khususnya di Kabupaten Bantul terlihat manakala terjadi bencana banjir dan tanah longsor, tercatat dampak terparah dialami sektor pertanian dan perikanan. Sebanyak 120 hektar lahan pertanian padi, jagung dan cabe dipastikan mengalami puso.
Sedangkan bidang perikanan paling parah ditemui di empat kecamatan yaitu kecamatan Banguntapan, Jetis, Imogiri dan Pandak, dengan kerugian miliaran rupiah (Kedaulatan Rakyat, 12/12/2017, halaman 4).
Belum lagi terjadinya kerusakan beberapa infrastruktur di wilayah kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kulonprogo, diberitakan sejumlah jalan ditemui ambrol/terputus, jembatan runtuh dan sejumlah rumah penduduk rusak berat sehingga mereka harus diungsikan untuk sementara waktu dan diamankan ke tempat yang lebih layak huni.
Sudah barang tentu, kondisi darurat bencana demikian telah mendapat penanganan yang cukup proporsional, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Tim SAR, instansi terkait dan para relawan terjun langsung untuk meringankan beban para korban banjir dan tanah longsor di sejumlah lokasi tersebut.
Namun demikian yang namanya kesetiakawanan atau keperdulian sosial bukan berarti bahwa suasana darurat bencana (banjir dan tanah longsor) sudah tertangani dan kondisi sudah dinyatakan aman.