Lihat ke Halaman Asli

Lentera

Diperbarui: 4 Januari 2024   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ku fikir, setelah merdeka Indonesia akan menjadi lebih damai. Ternyata aku salah perjuangan yang ku anggap usai masih menyisakan perjuangan yang lain. Penjajah yang ku fikir sudah pergi, kembali hadir dalam wujud yang berbeda. Bukan! Bukan penjajah tapi bangsa sendiri yang fikirannya mudah terombang ambing ke kanan dan ke kiri. Malas mencari kebenaran hanya bisa menuntut dan menuntut.” Gumam kakek Prapto di sela-sela isapan kreteknya sambil memberi makan ayam-ayam kecil di halaman rumah. Halaman rumah kakek Marni terbilang luas, dengan suasana gunung yang sangat asri. Kakeknya juga seorang petani, peternak ayam dan sapi. Tak heran jika dipelataran rumahnya terdapat banyak ayam-ayam yang berkeliaran.

Marni yang melihat itu, hanya bisa geleng-geleng kepala. Kakeknya merupakan pahlawan veteran Indonesia, menjadi saksi kemerdekaan Indonesia kala itu. Akhir-akhir ini, sering bergumam mengkritisi kondisi Indonesia saat ini. Menurut kakeknya yaitu kakek Prapto, Indonesia adalah surga namun tak banyak orang yang bisa melihatnya.

“Wonten nopo to mbah? Perjuangan sudah usai mbah. Rakyat kita juga sudah damai. Perempuan juga sudah bisa sekolah, jadi perjuangan Kartini tidak sia-sia.” Kakek Prapto tersenyum, sekilas dipandang wajah cucunya dengan kain rajut di tangannya.

Ya, Marni sangat suka momen menghabiskan waktunya dengan kain rajutnya sambil menemani si mbah ngopi di teras belakang rumah. Dengan pemandangan sawah di kanan dan kiri yang sangat sulit ditemui di tengah perkotaan yang padat oleh bangunan pencakar langit. Biasanya, si mbah mendongenginya tentang perjuangan para pahlawan meraih kemerdekaan Indonesia. Walau sudah di umur senja, tapi ingatan mbah Prapto tak pernah berkurang sedikitpun. Dari si mbahnya inilah yang menjadikan Marni suka dengan sejarah. Dari si mbahnya ini  juga Marni menjadi faham arti dari “Jangan lupakan Jas Merah” menjadikan kita lebih bisa menghargai waktu yang kita  punya.

“Dulu, kemiskinan memang merajalela. Rakyat kecil ditindas, ditendang, diInjak, seolah-olah tak memiliki harga diri. Orang pemuka yang katanya pandai dalam agama justru menjadi dalang dari adanya penindasan. Ia berkhianat dan menjadi budak para penjajah. Emang nduk, dunyo saiki wes luweh makmur ning rakyate yo tambah malah ngawur.” Kakek Prapto menyeruput sisa-sisa terakhir kopinya.

“Piye to mbah maksud e? kulo kok bingung”  timpalnya.

“Dulu, walaupun negeri kita di jajah, tapi hati kita damai nduk. Ndak ada orang yang berusaha mengakhiri hidupnya, meskipun ia diinjak-injak. Ndak ada orang yang bilang menyerah meskipun hidup dalam kemiskinan. Ndak ada juga seorang anak yang lancang memerkosa ibunya selain memiliki rasa hormat dan terimakasih karena sudah dilahirkan. Kita mati karena mengikuti takdir, kita hidup dengan menerima takdir. Semua itu karena kita tahu lawan kita jelas, yaitu manusia. Ada wujudnya, ada bentuknya, jika kita bunuh kita bisa melihat jasadnya. Tapi sekarang apa menurutmu begitu?”

Marni manggut-manggut, “lalu apa masalahnya? di samping berita negatif ada juga berita positif yang bisa kita ambil mbah, apa jiwa kepahlawanannya njenengan terlukai dengan ini? Ahahaha” Marni tergelak

Ia tatap kembali wajah si mbah dengan kretek yang masih mengepul di antara jari tengah dan telunjuknya.

“Ini bukan masalah terlukai cah ayu, tapi masalah penjajah. Kau tau? Dulu ada seorang pemuda, ia memiliki seorang anak. Dia bernama Darma yang disiksa oleh DI (Darul Islam) yang memiliki pasukan bernama TII (Tentara Islam Indonesia). DI ini merupakan sebuah gerakan politik yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara islam di Indonesia. Pemberontakan yang di lakukan oleh DI ini termasuk salah satu pemberontakan yang paling sulit yang dihadapi oleh Indonesia. Waktu itu, bermula pada tahun 1948.” Mbah Prapto mulai bercerita.

“Seorang pemuda yang bernama Darma, ketika sedang menjajahkan dagangannya di pasar, tiba-tiba dia digeret oleh DI dan dituduh sebagai pemberontak. Saat itu, anaknya masih kecil, dan istrinya sangat cantik bernama Surastri. Kejadian itu, terjadi di Bandung. Waktu Mbah dan Mbok (nenek), masih tinggal di sana. Dia dituduh sebagai seorang penghianat, ia digeret, dipukul, dan ditendang padahal kau tau nduk? Padahal Darma adalah orang yang sangat baik. Walaupun dia hanya bekerja sebagai penjual sayur, dia tidak pernah berkecil hati. Semua orang kala itu berbondong-bondong untuk menjadi pendukungnya DI, karena mereka dijanjikan bebas pajak oleh DI. Tapi, Darma seorang pemuda yang teguh pendirian tidak terpengaruh oleh janji manis DI. Itulah sebabnya dia di fitnah telah menjadi penghianat dengan menentang DI.” Lanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline