Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Pemulung

Diperbarui: 5 Juli 2015   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam disini menawarkan keterasingan. Sepi. Angin yang kemarin berdamai denganku kini angkat senjata lagi. Angin kembali dingin dan bengis. Menyerangku tiba-tiba. Aku paling benci terhadap angin dingin yang bengis. Karena aku selalu kalah dan lebih baik memilih berselimut. Pelan-pelan aku dengar suara derap kaki dari ujung pintu. Suara langkah kaki yang sangat lembut, langkah kaki seorang perempuan. Dan keyakinan merajai jiwaku, pasti perempuan itu lagi. Kenapa ia kembali disaat angin dingin begini? Padahal sudah tiga minggu berlalu sejak ia berpamitan kepadaku ingin pergi jauh dari duniaku. Seperti biasa. Perempuan itu menyuguhkan senyum lalu menangis di dekatku. Duduk di sampingku. Sejenak kemudian ia berbicara kepadaku melalui bahasa tubuhnya bahwa ia juga merasa kedinginan sama seperti diriku. Iba juga aku melihatnya. Aku selimuti ia dengan selimut yang tadinya aku pakai. Namun, ia menolak begitu saja, meninggalkan aku sendiri. Begitulah ia. Datang, senyum, menangis lalu pergi. Perempuan bermata indah dan rambut panjang hitam tergerai, juga lentik bulu mata seperti bulu seekor burung merak. Subuh memanggil, membuatku terjaga. Ya Tuhan! Perempuan itu kumimpikan lagi. Selalu ia. Dan dalam mimpi yang sama pula.

Pertama kali aku bertemu dengannya, disaat aku pergi untuk mewawancarai beberapa orang pemulung di desa Gebang, untuk bahan field research. Semua orang tahu, Gebang adalah desa pemulung. Dan diantara pemulung tersebut sudah dianggap mengotori dan meresahkan penduduk di beberapa desa sekitar. Maklum saja,dari beberapa kasus pencurian atau kehilangan di desa sekitar, kebanyakan pencurinya berkedok sebagai seorang pemulung. Hal ini menyisakan masalah kepada mereka yang tak bermasalah. Salah karena menjadi kambing hitam. Padahal mereka hanya mencari hidup dari barang buangan saja. Dan yang terpenting, mereka tidak pernah meminta untuk menjalani hidup sebagai seorang pemulung. Seharusnya penduduk dan pejabat desa setempat bahkan pemerintah sebisa mungkin untuk mencarikan dan memberingan lapangan pekerjaan agar mereka tidak hanya bergantung hidup sebagai seorang pemulung, yang mungkin saja hidupnya terkatung-katung. Dan perempuan itu merupakan salah satu dan pemulung terakhir yang akan aku wawancarai, karena memang dia datang terakhir ke tempat pembuangan sampah. Ya! Tidak boleh tidak ia menjadi orang terakhir. Ia menatapku dengan tatapan mata yang tajam bak mata seekor elang. Dingin. Beku tak mencair. Jiwaku meminta dan memaksaku untuk berani menghampirinya. Kutanyakan namanya. Ia diam dan kembali menatapku dingin. Aku tanyakan sekali lagi namanya. Diam juga yang akhirnya ia beri, dan melangkah jauh, terus melangkah entah kemana ia. Aku heran. Bingung. Apa adayang salah dariku? Entahlah. Aku melangkah gontai, pulang menyusuri jalan setapak.

Ya Tuhan, ternyata ia bisu, itu kata salah satu seorang pemulung yang memberitahuku. Aku takut ia tersinggung atas apa yang kutanyakan. Aku terkesan memaksanya untuk menjawab pertanyaanku. Perasanku seperti ditindih batu-batu salah, telah membuat jiwanya terluka. Tentang siapa namanya serta dimana ia berumah, tak satupun orang tahu. Karena memang ia datang dan menghilang. Kasihan ia. Di usia yang sangat terlalu pagi untuk mengenal dunia harus mewisuda dirinya menjadi seorang sarjana pemulung. Entahlah, aku tak bisa menaksir kira-kira berapa umurnya. Ini semua semakin menambah rasa ingin tahuku tentang siapa namanya dan siapa dia sebenarnya. Sebuah penelitian kecil dalam penelitianku yang sesungguhnya. Oh ya, bicara soal nama, aku lupa mengenalkan namaku. Jibril namaku.

Esok harinya ia kembali kucari ke tempat pembuangan sampah yang kemarin aku datangi. Tak ada. Dimana ia sekarang? Rasa salahku semakin dalam dan rasa ingin tahuku juga semakin riam. Tapi yang lebih aku ingini adalah maaf dari dirinya, meski kata maaf mungkin tak begitu berarti bagi sebagian orang karena mereka selalu beralasan salah tak apa, kita kan manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Apa karena kita manusia biasa lantas kita malas mau minta maaf? Alasan sering saja kita buat, gengsi atau apalah namanya. Aku pikir justru karena kita manusia biasa, kita harus saling memaafkan. Duh, alangkah damainya negeriku jika seperti itu. Mungkin tak ada tangis dan darah mengalir tak berguna. Saling dendam, benci. Karena pemberani bukan hanya mau menghadapi tantangan tapi juga berani mengakui kesalahan dan mau minta maaf.

Ini kali ke-tujuh aku memimpikan ia kembali, dan membuatku ingin segera menemuinya. Ia duduk di hadapanku. Diam. Sepi. Hening. Dan angin kini tak sebengis dulu. Lebih memilih berdamai, menambah suasana kebekuan ruang yang membekap aku dan dirinya, perempuan pemulung. Sunyi. Suara juga tak banyak mengusik. Hanya detak jarum jam yang berpacu dengan detak jantungku yang semakin kencang bak lari kuda perang. Mulailah ia berani menyentuh tanganku, memegang erat disertai tatap mata bagai busur panah. Dan mulutnya seakan- akan mengeja sebuah kata namun ia tak meneruskannya. Dahiku mengkerut dan sulit bagiku menangkap apa yang ia katakan. Ia kembali diam. Semenit kemudian tersenyum mengangguk- angguk kecil sambil melepas tangannya dariku. Hening sejenak. Kali ini ia seakan- akan mengerti apa yang kuingini selama ini. Tidak dengan mengeja, ia memakai bahasa isyarat. Ia menunjuk dadanya lalu menyalami tanganku serta kemudian menunjuk diriku. Dan aku mengerti bahwa ia telah memaafkanku. Setangkup haru membuncah didadaku. Seperti biasa, ia berdiri lalu pergi begitusaja. Aneh. Kali ini aneh. Sebelum pergi, biasanya ia menangis tapi kenapa sekarang tidak. Entahlah

Pagi ini, menemukannya adalah sebuah keharusan dan pencarian ini tidak akan pernah bertepi. Niat bagiku adalah cermin keinginan. Aku yakin akan hal itu. Tempat pembuangan sampah, ya mungkin disitulah ia. Aku datangi kembali tempat dimana aku pertama kali berjumpa dengannya, selain dalam mimpi tentunya. Seperti yang dulu, ia tetap tidak ada. Yang ada hanya segelintir pemulung lain yang kemarin waktu aku wawancarai. Dan aku bersyukur diantara mereka masih ada yang mengingatku, seorang pemulung perempuan paruh baya, yang kudengar- dengar hanya ia yang begitu dekat dan menjadi sahabat perempuan pemulung yang kucari itu. Aku menyalaminya. Ia bertanya apakah aku akan mewawancarainya lagi. Tidak, jawabku. Aku balik bertanya apakah ia melihat perempuan pemulung yang bisu itu? Ia agak terperangah heran tapi dengan cepat ia menepis keheranan itu dan mulai bercerita kepadaku bahwa baru kemarin hari perempuan itu meninggal saat ia sedang memilah-milih sampah, tiba-tiba ia roboh tak sadarkan diri. Tak bernafas. Mati. Entahlah, ia meninggal karena apa, yang jelas ia sekarang sudah terbujur kaku di pojok ruang keramat itu. Dan dari pemulung perempuan paruh baya itu pula aku tahu bahwa dahulu ia lari dari desa dimana ia tinggal karena tidak tahan dengan ejekan serta perlakuan orang-orang yang mengucilkannya karena ia telah diperkosa oleh ayah tirinya. Padahal, apa salahnya? Ia hanya korban ketidak-becusan seorang ayah. Ayah yang tidak menghormati dirinya sendiri sebagai seorang ayah. Ia tidak bisa membela dirinya lantaran ia bisu. Itu sebabnya, ia selalu sinis dan selalu menatap dengan tajam setiap orang yang baru dilihat dan dikenalnya, dan kebih memilih untuk menghindar.

Sekarang aku telah menemukannya meski tak ada satupun yang tahu siapa nama sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline